PADA 27 April 1952, Presiden Sukarno berpidato dalam peletakan batu pertama pembangunan gedung IPB Baranangsiang Bogor, Jawa Barat. Sukarno menulis di batu prasasti: “Soal Hidup dan Mati”. Ini judul pidato Presiden yang menyoroti masalah terbesar Indonesia tahun itu: krisis pangan.
Dalam hitungan Sukarno, Indonesia defisit 0,7 juta ton beras untuk menghidupi 75 juta penduduknya yang butuh 86 kilogram beras per tahun per orang. Indonesia, kata Sukarno, terpaksa mengimpor beras dari Saigon dan Siam untuk menutup kekurangan itu.
Dengan jumlah yang tekor itu konsumsi kalori penduduk Indonesia hanya 1.700. Padahal, untuk menjadi bangsa maju tiap-tiap orang harus makan setidaknya 2.250 kalori. “Jadi soal makanan rakyat ini soal hidup dan mati,” katanya. “Maka kalian para pemuda dan pemudi harus menjadi pelopor revolusi pembangunan ini.”
Sukarno amat berharap, para ilmuwan di Fakultas Pertanian IPB yang gedungnya ia resmikan itu bisa menyelesaikan soal genting makanan rakyat ini melalui penelitian dan penyuluhan agar petani bisa lebih memberdayakan lahannya. “Politik bebas, prijsstop, keamanan, masyarakat adil dan makmur, semua itu omong kosong selama kita kekurangan bahan makanan dan harga beras kian naik,” katanya.
Enam puluh sembilan tahun kemudian, kita masih kesulitan dalam soal pangan hingga tiap pemerintahan coba membangun lumbung pangan atau food estate yang membutuhkan lahan sangat luas. Kini, problem itu menjadi ironis ketika kita menjadi negara dengan posisi bangsa yang doyan membuang makanan.
Dari 64 juta ton sampah yang diproduksi orang Indonesia pada 2018, sebanyak 44% adalah sampah makanan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengkaji pola makan orang Indonesia, menemukan bahwa setidaknya 184 kilogram tiap orang Indonesia membuang makanan. Sejak dari produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Annisa Ratna Putri, Leader Food Lost and Waste Study Waste4change, mensinyalir ada lima penyebab orang Indonesia doyan membuang makanan.
Pertama, kurangnya good handling practices atau penanganan produksi makanan hingga siap konsumsi. Saat panen, misalnya, masih ada pangan yang terbuang karena kesalahan dalam cara memanen. Begitu pun saat distribusi. Cara pembungkusan maupun pengepakan pangan masih kurang baik, sehingga menyebabkan pangan rusak dan tidak diminati pembeli lalu terbuang dan jadi sampah
Kedua, kurangnya edukasi penyimpanan makanan. Manusia yang selalu khawatir akan masa depan cenderung menyimpan makanan untuk kebutuhan hidup di masa yang akan datang. Kebiasaan ini sudah terjadi saat zaman peralihan berburu ke bercocok tanam.
Acap kali metode penyimpanan makanan yang salah menyebabkan terbuangnya makanan sehingga perlu edukasi lebih untuk proses penyimpanan makanan ini. “Bisa lewat metode frist in frist out, artinya yang pertama kali disimpan harus menjadi yang pertama dikonsumsi pula” ujar Anisa.
Ketiga, preferensi konsumen atau pilihan atau minat seseorang menyatakan suka atau tidak terhadap suatu produk. Sering kali, makanan yang bentuknya jelek tapi masih layak konsumsi, tidak dipilih oleh konsumen. Selera dan estetika ini menjadi faktor makanan terbuang dan menjadi sampah.
Keempat, rantai pasok. Proses produksi sampai distribusi menyebabkan makanan rusak hingga terbuang.
Kelima, perilaku konsumen. Sering kali kita melebihkan porsi saat memesan makanan dengan dalih “takut tidak kenyang”. Tidak adanya tradisi makan cukup, bukan makan kenyang, ini membuat makanan acap terbuang karena berlebihan.
Dengan banyaknya sampah makanan, emisi gas rumah kaca yang terdorong ke atmosfer lumayan besar. Pada 2017, jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari sampah sebanyak 18,59 juta ton setara CO2. Total emisi yang dilepas dari sampah sisa makanan pada 2000-2019 sebanyak 1,7 miliar ton atau 7% dari emisi tahunan Indonesia.
Karena itu penanganan sampah makanan dan limbah menjadi salah satu mitigasi krisis iklim di Indonesia. Dalam dokumen NDC baru, pada 2030 diperkirakan emisi sampah mencapai 296 juta ton setara CO2. Dalam skenario mitigasi, emisi sampah akan dikurangi sebanyak 0,38% untuk skenario emisi 29% dan 1% untuk skenario penurunan emisi 41% dari total 2,87 miliar ton setara CO2.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :