SALAH satu cara dalam mitigasi krisis iklim adalah mengubah sumber energi dari fosil ke terbarukan. Energi surya, angin, ombak laut, panas bumi, adalah jenis-jenis energi tak terbatas yang membutuhkan teknologi untuk menghasilkan energi listrik. Dari sektor lahan, ada potensi hutan tanaman energi yang bisa memasok biomassa.
Dalam rencana strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020-2024, pemerintah mengalokasikan 100.000 hutan produksi untuk menyediakan biomassa yang bisa diubah menjadi energi.
Hingga 2020 ada 13 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang melaporkan bahwa mereka telah mengalokasikan 142.172 hektare untuk energi. Sementara 18 perusahaan HTI baru menyampaikan komitmen menyediakan 699.747 hektare.
Realisasi tanaman hutan tanaman energi di 13 HTI baru 8.848 hektare. Menurut Kepala Pusat Kebijakan Strategis KLHK Herry Subagiadi alokasi tanaman energi itu khusus untuk mitigasi krisis iklim. “Prinsipnya reuse, reduce, recycle,” kata Herry dalam diskusi energi di IPB Convention Center pada 14 Oktober 2021.
Dalam dokumen NDC yang diajukan ke PBB pada akhir Juli lalu, pemerintah hendak menurunkan emisi dari sektor energi sekitar 200 juta ton pada 2030 dalam skenario penurunan emisi 41% dengan bantuana sing. Patokannya emisi energi 2010 sebesar 453,2 juta ton setara CO2. Dalam sembilan tahun ke depan emisi sektor energi diperkirakan mencapai 1,7 miliar ton, 58,2% dari total emisi 2030.
Dengan usaha sendiri, pemerintah hendak menurunkan emisi 2030 sebesar 29%. Strategi sektor energi mendukung rencana itu melalui efisiensi konsumsi energi sebanyak 75%. Energi biomassa masuk dalam program pengadaan energi terbarukan yang diharapkan menyumbang energi listrik 19,6% atau 7,4 giga watt.
Sejauh ini aplikasi energi tenaga biomassa ada di Desa Bondohula, Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. PLTBm Sumba memiliki kapasitas sekitar 1 mega watt dengan kebutuhan biomassa 30-35 ton per hari. “Bahan bakunya belum tersedia,” kata Toris Dilisusendi, Koordinator Penyiapan Program Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Masalah utama energi terbarukan ada pada harga. Sepanjang harga batu bara murah, penyedia listrik akan terus menerus mengandalkan energi fosil yang polutif ini. Sekarang harga batu bara sedang tinggi akibat naiknya harga gas alam di Amerika Serikat. Akibatnya, permintaan terhadap batu bara melonjak tajam.
Harga batu bara per 11 Oktober 2021 mencapai US$ 241,35 per ton. Bagi Indonesia, sebagai produsen batu bara, kenaikan ini menguntungkan karena nilai ekspor langsung melesat 168,89% dibanding waktu yang sama tahun lalu.
Bagi energi alternatif, kenaikan harga ini bisa mendorong Indonesia kian cepat mewujudkannya. Pembangkit listrik tentu tak menginginkan harga bahan baku naik. Alternatif bahan bakar, seperti biomassa, bisa menjadi satu cara menekan konsumsi batu bara yang mahal.
Masalahnya, kenaikan batu bara tidak selalu konstan. Batu bara masih dianggap sebagai bahan baku energi yang murah. Pengalaman Bambang Hero Saharjo, guru besar IPB, pada 2013 bisa menjadi contoh. Waktu itu harga batu bara US$ 70 per ton. Dengan kurs Rp 14.400, harga beli batu bara hanya Rp 1 juta.
Bandingkan dengan harga biomassa. Harga akasia di pasar Rp 1,5 juta per ton. Penyedia listrik tentu akan memilih kembali batu bara dengan harga biomassa yang tak kompetitif ini. Belum lagi jumlah kalori biomassa yang bisa memproduksi listrik, dengan panas yang konstan dan lama, membutuhkan kayu jenis tertentu yang mesti menimbang kualitas biofisik di sekitarnya.
Menurut Toris, saat ini pembangkit biomassa memakai kaliandra merah. Pembangkit membelinya Rp 500 per kilogram atau Rp 500.000 per ton. “Untuk menjamin ketersediaan bahan baku, kami memfasilitasi pemerintah daerah dan perusahaan penyuplai kayu mencapai kesepakatan harga,” ujarnya.
Perusahaan yang saat ini konsisten untuk menyuplai bahan baku kayu energi kepada PLTBm Sumba Barat adalah PT Usaha Tani Lestari. Namun hinga kini, belum ada kesepakatan kontrak antara Pemda Sumba dan PT Usaha Tani Lestari.
Karena itu untuk mendorong sumber energi alternatif, pemerintah perlu memberikan insentif kepada mereka yang bersedia menyediakannya. Salah satunya melalui pembiayaan yang berkelanjutan.
Sejauh ini dukungan pembiayaan untuk PLTBm Sumba Barat baru dari rencana Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). BPDLH akan memberikan pinjaman sebesar Rp 69,7 miliar. “Baru tersalurkan Oktober 2016 sebesar Rp 6,34 miliar,” kata Nining Ngudi Purnamaningtyas, Direktur Penyaluran Dana BPDLH.
Itu pun tersendat akibat perusahaan belum selesai urusannya dengan masyarakat dalam hal mekanisme penanaman. Menyediakan energi terbarukan tidak mudah, meski harus karena krisis iklim sudah di depan mata. Kebijakan dan hal-hal teknis lainnya perlu mendukung penuh potensi hutan tanaman energi di Indonesia yang melimpah.
Dalam perhitungan Kementerian Energi, biomassa jika diubah ke briket atau pelet bisa menghasilkan listrik 1.355 megawatt. Hutan tanaman energi punya masa depan jika pelbagai rintangannya bisa diatasi dan ada paradigma mencegah krisis iklim.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :