DALAM sebuah rapat dengan DPR pada 10 Juni 2021, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya melaporkan bahwa daerah aliran sungai (DAS) yang berhasil dipulihkan melalui rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) selama 2015-2021 mencapai 1.142.530 hektare. Di tahun ini, lahan yang bisa ditanami hingga Juni 2021 seluas 34.304 hektare.
Angka-angka ini seolah gigantis. Tanpa melihat tujuan rehabilitasi hutan dan lahan, menanam pohon di lahan kritis akan berhenti pada angka-angka luas lahan. Padahal, rehabilitasi bertujuan menjadikan lahan terbuka menjadi hutan kembali. Kita tahu, definisi hutan adalah menciptakan iklim mikro hingga pohon berperan menyerap emisi karbon.
Untuk bisa sampai ke sana, rehabilitasi harus sempurna hingga hutan terbentuk kumpulan pepohonan dengan fungsi tersebut. Maka jika rehabilitasi hanya dilihat semata angka penanaman, tujuannya belum tercapai secara utuh. Kenyataannya, tiap rehabilitasi dianggap sebagai proyek sehingga program ini tak dikawal hingga akhir yang membutuhkan waktu panjang.
Kita ingat pernyataan Presiden Joko Widodo dalam silaturahmi alumni dan mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada Desember 2017. Ia mengatakan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mampu membangun hutan asal dikerjakan secara detail dari hulu ke hilir.
Presiden Jokowi lalu menyitir pengalaman negara-negara Skandinavia seperti Norwegia yang kaya dan makmur dengan mengandalkan hasil hutan. Presiden menyajikan satu fakta yang sulit dibantah bahwa sudah puluhan tahun pemerintah menjalankan program rehabilitasi hutan dan lahan dengan biaya triliunan tapi tak menghasilkan peninggalan hutan yang luas.
Sebagai alumni UGM, Jokowi teringat hutan Wanagama di Gunung Kidul seluas 112 hektare. Menurut Jokowi, pemerintah sebenarnya mampu dan bisa membangun hutan jika pengerjaan dari perencanaan hingga pemeliharaannya mirip yang dilakukan UGM untuk Wanagama.
Jika kita asumsikan setiap tahun pemerintah bisa membangun hutan mirip Wanagama melalui rehabilitasi hutan dan lahan seluas 3.000 hektare saja, selama 41 tahun (1976-2017) akan terbangun 123.000 hektare hutan di seluruh Indonesia.
Jokowi menyarankan agar kita meninggalkan paradigma lama melalui program menanam satu miliar pohon atau satu juta pohon karena, kata dia, faktanya slogan-slogan itu tidak ada yang berhasil. Cukuplah, kata Jokowi, fokus berapa hektare yang penting terjamin berhasil menjadi hutan yang sebenarnya setelah beberapa tahun kemudian.
Pola dan mekanisme rehabilitasi hutan dan lahan sesungguhnya tak banyak berubah sejak pertama kali instruksi presiden tentang reboisasi dan penghijauan pada 1971 hingga berubah menjadi rehabilitasi hutan dan lahan tak banyak berubah.
Program rehabilitasi masih fokus pada penanaman dan pemeliharaan tahun pertama (tanaman umur 2 tahun) dan pemeliharaan tahun kedua (tanaman umur 3 tahun). Selebihnya, mulai pohon umur 4 tahun dan seterusnya pohon diserahkan pada mekanisme alamiah. Padahal untuk menjadi pohon dewasa yang sempurna menciptakan iklim mikro sebagai pengertian hutan, satu pohon butuh tumbuh hingga 15 tahun.
Jika paradigma lama ini masih terjadi, tidak heran jika rehabilitasi akan selalu dianggap sebagai cost center yang menjadi beban anggaran. Padahal, apalagi jika dikaitkan dengan krisis iklim sekarang, rehabilitasi adalah tugas utama KLHK.
Apalagi, biaya rehabilitasi tersedia melalui dana reboisasi, yang dipungut dari tiap volume pohon yang ditebang oleh industri kehutanan. Tujuannya agar tiap pohon yang ditebang tergantikan di tempat lain sehingga luas hutan kita seimbang mesti ada deforestasi yang direncanakan melalui pemberian konsesi.
Tahun 2018-2019, menurut pengumuman KLHK, deforestasi netto seluas 462.400 hektare atau naik 5,2%. Deforestasi netto adalah laju penggundulan hutan bersih karena sudah menghitung reforestasi atau penghutanan kembali seluas 3.100 hektare pada periode tahun tersebut.
Maka agar rehabilitasi hutan dan lahan tak menjadi pusat biaya, pemerintah mesti mengubah paradigmanya, lalu merancang programnya yang komprehensif dari perencanaan hingga hutan terbangun dengan sempurna.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :