TAK lama setelah Undang-Undang (UU) Cipta Kerja berlaku tahun lalu, dua raksasa industri bubur kertas dan rayon sigap mengajukan menaikkan kapasitas produksi pabrik, hingga 16 juta ton. Asia Pulp and Paper bahkan berencana meningkatkan kapasitas hingga tiga kali lipat untuk PT Oki Pulp and Paper Mill. OKI adalah kependekan Ogan Komering Ilir, kabupaten di Sumatera Selatan.
Peningkatan kapasitas produksi itu melalui satu kali konsultasi penilaian dampak lingkungan. Dari konsultasi itu terlihat bahwa rencana ini memiliki potensi risiko dampak lingkungan dan sosial. Ini dampak yang terlihat. Telaah atas dokumen setebal 2.000 halaman juga mengungkap dampak risiko yang tak tampak.
Rezim hukum lingkungan menghendaki setiap kegiatan pembangunan dan ekstraksi sumber daya alam menakar dampak lingkungan melalui analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Alasannya jelas, agar risiko itu bisa ditangani, dikelola, dan diskusikan penyelesaiannya, dengan berbagai pemangku kepentingan.
Dampak lingkungan sering kali tidak ditanggung oleh pelaku industri ekstraksi, tapi oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya, oleh satwa liar yang hidup di alam, dan lingkungan itu sendiri. Ilmu ekonomi menyebutnya biaya eksternalitas.
Masalahnya, entah itu dalam bentuk krisis ekologis, konflik sosial-tenurial, atau bahkan korupsi, ekstraksi sumber daya alam untuk pembangunan menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang masif. Kita masih ingat kebakaran hutan 2015 kemudian terulang 2019, tidak bisa dilepaskan sebagai dampak pembukaan hutan, pengeringan lahan gambut oleh industri skala besar yang menghasilkan komoditas seperti kelapa sawit dan kayu untuk bubur kertas.
Pemerintah terlihat gagap menangani kebakaran hutan dan lahan sejak pertengahan 1990, sementara instrumen lingkungan hidup gagal mengukur risiko penyebab kebakaran dan antisipatif. Masyarakat Sumatera dan Kalimantan menjadi korban, dengan berbagai gangguan kesehatan saluran pernapasan, menurunnya tingkat ekspektasi hidup, dan terganggunya aktivitas sehari-hari.
Guru besar IPB Hariadi Kartodihardjo menyebutkan sebelum dilemahkan pun, rezim penilaian dampak lingkungan punya persoalan mendasar: ia tidak pernah dijalankan secara benar. Sudah sama kita tahu rezim Amdal secara kualitas tidak mampu menguraikan dampak hipotetis proyek-proyek investasi skala besar.
Ada banyak soal yang bisa terungkap sebagai penyebab, yang paling mencolok adalah korupsi. Kualitas dari dokumen lingkungan itu beriringan dengan biaya yang dikeluarkan oleh pemrakarsa. Banyak kasus penilai Amdal justru ikut menjadi konsultan penyusun dokumennya. Konflik kepentingan ini membuat dokumen Amdal sekadar kertas dengan tulisan comot dan pasang dari berbagai tulisan lain yang tidak berkaitan.
UU Cipta Kerja sebagai agregator investasi, kian melemahkannya dengan pendekatan berbasis risiko karena justru membatasi ruang lingkup risiko, merampingkan prosedur, dan waktu penilaian risikonya. Bahkan secara spesifik menyempitkan definisi masyarakat hanya sebagai “masyarakat yang secara langsung terdampak”.
Tidak heran, pendekatan berbasis risiko kian menjauhkan dampak lingkungan dengan masyarakat. Sementara persetujuan lingkungan, meski disusun oleh para cerdik-cendikia, akan semakin memosisikan dirinya tidak lebih dari persyaratan formal belaka, tidak punya nilai apa pun dalam menjaga harkat martabat manusia untuk hidup berdampingan dengan alam yang mendukungnya.
Kembali ke soal substansi dokumen lingkungan raksasa bubur kertas di atas, dengan segala bahasa dan liuk argumentasi, tak menjelaskan risiko yang mungkin terjadi dan menawarkan cara mengelolanya secara komprehensif. Dokumen itu lebih banyak memberikan pembenaran bahwa peningkatan kapasitas itu memberikan manfaat, seperti tenaga kerja.
Risiko lingkungan yang disebutkan hanya umum, seperti polusi udara dan pencemaran air. Bangunan dan mesin pabrik seolah terpisah dari sistem pasar dan rantai pasok perusahaan. Padahal, mesin dan bangunan akan menentukan pasokan bahan baku yang mempengaruhi kapasitas lingkungan.
Peningkatan produksi kedua pabrik itu mensyaratkan setidaknya 50 juta meter kubik bahan baku. Sementara produksi bahan baku membutuhkan penggunaan lahan hutan, bahkan ekosistem gambut yang luar dan intensif.
Menurut hitung-hitungan Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Selatan, untuk pabrik di PT Oki Mill saja akan menambah tekanan kepada hutan seluas 2 juta hektare. Akibatnya, cerita lama akan terulang kembali. Hutan tanaman industri rotasi cepat akan diperluas dan gambut yang dikeringkan akan kian rentan terbakar semakin luas.
Dari sisi sosial, operasi APP sebagai induk dari Oki Mill, saat ini berdampak pada lebih dari 600 desa atau komunitas. Jika terjadi penambahan lahan seluas yang hampir sama dengan konsesi yang ada sekarang maka akan ada ratusan konflik lagi yang berpotensi terjadi.
Ketentuan Amdal sebenarnya mengakomodasi agar jenis risiko itu juga harusnya menjadi perhatian. Dalam pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup, ada ketentuan penilaian dampak tidak langsung disusun melalui diagram alir pasokan bahan baku. Itu kenapa industri skala besar, seperti kertas, di dokumen lingkungannya harus ada skala usaha termasuk dampaknya terhadap lingkungan hidup.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pengurus Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan
Topik :