Kabar Baru| 21 Oktober 2021
Obesitas Ancaman Serius Peradaban Manusia

PADA 1937, George Orwell menyerukan agar kita mengubah pola makan, ketimbang sibuk mengubah rezim atau kepercayaan. Hampir setengah abad kemudian, seruan penulis novel gelap 1984 itu terbukti. Obesitas menjadi problem manusia modern hari ini.
Teknologi memang menambah kesempatan hidup manusia modern. Secara global, laki-laki rata-rata bertambah usia 12 tahun dan perempuan 11 tahun pada 2010 dibanding usia manusia pada 1970.
Setelah perang dan kelangkaan pangan serta infeksi bisa teratasi, usia panjang disertai dengan pelbagai penyakit baru akibat gaya hidup. “Sekarang ancaman kita justru kelebihan makanan. Orang gembrot, obesitas adalah masalah peradaban ke depan,” kata Ryu Hassan, ahli syaraf, ketika berbicara dalam Jakarta Geopoliticial Forum V di Lembaga Ketahanan Nasional pada 21 Oktober 2021.
Ryu membawakan materi “Politik dari Sudut Pandang Neurosains”. Ryu menjelaskan soal ancaman obesitas ini ketika menjawab pertanyaan dari seorang peserta dari Aceh, Cut Nyak Meutia, soal apakah gaya hidup manusia dalam pola makan mempengaruhi peradaban.
Menurut Ryu, infeksi sekitar satu abad lalu pernah memusnahkan 120 juta manusia. Pandemi Covid-19 yang menyebar ke seluruh bumi sejak akhir 2019 membunuh 4 juta orang.
Perang yang pernah terjadi dalam sejarah manusia membunuh puluhan juta jiwa. Sementara kelaparan pernah membuat negara seperti Ethiopia kehilangan separuh jumlah penduduk. “Sekarang tidak ada lagi kelaparan yang mengurangi jumlah populasi dunia,” kata Ryu.
Secara ironis, setelah manusia bisa membebaskan diri dari kelangkaan pangan, problem terbesar hari ini adalah kelebihan makanan. Sejak 2000, Badan Kesehatan Dunia menaruh perhatian pada obesitas karena penyakit-penyakit akibat obesitas menjadi penyakit paling mematikan di dunia hari ini.
Dari sekian banyak negara yang menyadari bahaya obesitas, hanya Jepang yang paling serius menanganinya. “Jepang punya Undang-undang anti gembrot sejak 2008," kata Ryu, yang menempuh pendidikan dokter di negeri itu.
Dalam undang-undang itu diatur, lingkar pinggang pada laki-laki maksimal 84,3 cm dan perempuan 81,3. Lewat batas ini, seseorang bisa dikategorikan gemuk.
Di awal menerapkan aturan ini, orang Jepang kurang peduli. Penyakit yang berhubungan dengan obesitas—seperti diabetes, kanker, serangan jantung, storke—masih tinggi pada 2008-2009. Penduduk Jepang baru sadar ketika pemerintah mengenakan denda kepada perusahaan yang karyawannya gembrot.
Dua tahun setelah peraturan itu diterapkan, angka obesitas menurun. Dampaknya, biaya kesehatan Jepang menangani pelbagai penyakit juga turun.
Masalahnya, kata Ryu, gen manusia tidak bisa berhenti makan. Gen ini pula yang membuat manusia menjadi mamalia yang bisa bertahan ketika mahluk purba lain punah akibat tak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan alam.
Tak hanya menyebabkan pelbagai penyakit yang menyebabkan kematian, obesitas juga berkorelasi dengan korupsi. Studi Pavlo Blavatskyy yang dipublikasikan di jurnal Economics of Transaction and Institutional Change menganalisis anggota cabinet yang gemuk di 15 negara pecahan Uni Soviet pada 2017. Hasilnya, semakin banyak anggota kabinet yang gemuk, semakin korup negara itu berdasarkan indeks persepsi korupsi yang dirilis Tranparency International.
George Orwell mungkin benar. Peradaban manusia bisa selamat jika kita mengurangi makan. Menurut WHO, tiap-tiap benua kini menghadapi problem kegemukan.
Cina punya program menurunkan obesitas di perdesaan. Sebanyak 7% penduduk Afrika mengalami obesitas. Semuanya karena pola makan dan perubahan teknologi pangan yang membuat kadar gula dalam pangan menjadi naik.
Di Indonesia, menurut Kementerian Kesehatan pada Maret 2021, 1 dari 3 orang dewasa mengalami obesitas. Sementara 1 dari 5 anak usia 5-12 tahun juga menderita kegemukan.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan peningkatan obesitas penduduk Indonesia hampir dua kali lipat pada periode 2007-2018 dari 19,1% menjadi 35,4%.
WHO memperkirakan pada 2025 akan ada 800 juta orang mengalami obesitas dengan kebutuhan anggaran pengobatan US$ 1 triliun—sepertiga anggaran mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius dalam mitigasi krisis iklim.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Redaksi
Topik :