BATU bara masih akan menjadi sumber energi Indonesia hingga sembilan tahun ke depan. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 mengungkap bahwa Indonesia kesulitan melepaskan diri dari sumber energi fosil yang polutif dan berbahaya ini.
Ketergantungan pada batu bara ini juga yang menyebabkan target penurunan emisi Indonesia pada 2030 tidak berubah dibanding yang diajukan dalam proposal NDC ke PBB pada 2015, yakni 29% dengan usaha sendiri.
Dalam dokumen NDC Indonesia ke PBB pada akhir Juli lalu, prediksi emisi 2030 berdasarkan data 2010 sebanyak 1,7 miliar ton setara CO2. Dengan skenario 29%, penurunannya hanya menjadi 1,3 miliar ton.
Ironisnya, RUPTL 2021-2030 mengklaim memakai prinsip pembangunan hijau. “Ini klaim yang tidak benar,” kata Adila Isfandiari, peneliti Greenpeace Indonesia, LSM lingkungan, dalam diskusi Menggugat Batu Bara dalam RUPTL Hijau 2021-2030 pada 19 Oktober 2021.
Menurut Adila, RUPTL mengungkap rencana pemerintah Indonesia menambah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara sebesar 13,8 Gigawatt pada 2030. Dengan begitu, porsi batu bara pada 2030 sebanyak 59,4% dari bauran energi Indonesia—dua kali lipat dibanding energi terbarukan yang hanya 24,8%.
RUPTL juga terasa bertentangan dengan perintah lisan Presiden Joko Widodo yang meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyetop pembangkit listrik baru yang memakai batu bara setelah proyek 35.000 megawatt beres pada 2023. RUPTL malah hendak menambah pembangkit batu bara.
Andri Prasetiyo, peneliti Trend Asia, menambahkan bahwa peningkatan kapasitas PLTU hingga tahun 2029 berpotensi besar menambah pelepasan emisi karbon menjadi gas rumah kaca yang menjadi penyebab krisis iklim. Ia menghitung ada sekitar 86,9 juta ton emisi tiap tahun yang terlepas dari wilayah Indonesia ke atmosfer jika benar tambahan PLTU tersebut terbangun.
Masalah lain, kata Andri, pembangunan PLTU baru itu berada di wilayah yang sudah cukup pasokan listriknya bahkan berlebih, yakni Jawa dan Sumatera. Saat ini kelebihan listrik di Jawa sebesar 55% dan Sumatera 50%. Padahal wilayah lain masih kekurangan listrik sebanyak 6.050 megawatt.
Jika pemerintah benar berkomitmen pada mitigasi krisis iklim dan menjaga Indonesia dari kerusakan akibat krisis iklim, kekurangan listrik itu dipasok dari energi terbarukan yang menghasilkan emisi sebagai energi fosil.
Pemerintah selalu berdalih bahwa Indonesia tak bisa menghentikan ketergantungan pada batu bara karena terikat kontrak dengan produsen. Jika pembangunan pembangkit dihentikan pada 2023 sekali pun, batu bara tetap diperlukan karena kontrak pengadaannya biasanya berlangsung selama 25 tahun.
Apalagi jika permintaan dari luar negeri tetap tinggi. Meski negara-negara besar hendak menghentikan pemakaian batu bara, permintaannya hingga 40 tahun ke depan masih ada. Pemerintah Cina mengumumkan tak akan lagi mendanai pembangkit batu bara, tapi negara-negara besar lain masih belum terdengar komitmennya.
Sekarang saja Indonesia sedang menikmati devisa dari ekspor batu bara yang harganya naik hingga lima kali lipat menjadi sekitar US$ 241 per ton. Kenaikan harga batu bara dipicu oleh naiknya harga gas sehingga banyak negara melirik batu bara yang membuat permintaannya naik.
Naiknya permintaan itu membuat mitigasi krisis iklim menemukan jalan terjal. Masih banyak negara yang belum berkomitmen dalam mitigasi krisis iklim yang salah satunya mengubah sumber energi fosil ke terbarukan. Dari 197 negara, baru 80-an negara yang sudah merevisi dokumen NDC untuk dibahas dalam Pertemuan Iklim PBB (COP26) di Glasgow pada 31 Oktober-12 November 2021.
Dari NDC yang sudah masuk pun, dari evaluasi PBB, jumlah emisi yang bisa dikurangi hanya 10%. Padahal, dunia membutuhkan pengurangan emisi hingga 45-55% dari produksi emisi tahun 51 miliar ton jika kita ingin mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius pada 2050.
Undang-Undang Cipta Kerja, kata Adila, juga turut mendorong kebijakan mengeruk batu bara kian masif. Alih-alih memberikan penalti kepada industri ekstraktif yang merusak alam, pemerintah Indonesia malah memberikan insentif berupa pembebasan royalti kepada perusahaan batu bara yang bisa mengolahnya.
Sebagai negara tropis, sambung Andri, Indonesia melimpah sumber energi terbarukan. Salah satunya biomassa melalui hutan tanaman energi. Ia memperkirakan energi biomassa bisa menyumbang 19,6% atau 7,4 Gigawatt energi listrik. “Pemakaian batu bara menegaskan Indonesia tak serius dalam mitigasi krisis iklim dan bisa jadi negara yang menggagalkan Perjanjian Paris 2015,” kata dia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :