PADA 26 Agustus 2021, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menerbitkan Surat Keputusan Nomor SK.5446/MENLHK-PKTL/ IPSDH/PLA.1/8/2021. Isinya memperpanjang penghentian pembukaan hutan alam primer dan gambut. Perpanjangan merupakan tinjauan tiap enam bulan seperti tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 5/2019.
Menurut Direktur Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan Ruandha Agung Sugardiman, hasil pemutakhiran peta indikatif hutan alam primer dalam peraturan revisi ini menjadi 66.129.183 juta, turun 42.911 hektare dibanding aturan pertama. Ruandha menjelaskan bahwa perubahan itu karena memasukkan pembukaan lahan baru sebelum Inpres 10/2011 terbit.
Penghentian pembukaan hutan alam primer dan gambut untuk perizinan bisnis merupakan bagian dari kesepakatan Indonesia dan Norwegia dalam menyerap gas rumah kaca sepuluh tahun lalu. Penggundulan hutan membuat emisi karbon yang terserap hutan menguap menjadi gas rumah kaca.
Kini perjanjian mencegah deforestasi yang dihargai dengan penyerapan per ton karbon itu berakhir buruk. Norwegia tak membayar pembelian karbon untuk Indonesia itu. Meski begitu, kata Ruandha, pemerintah meneruskan kebijakan ini karena menurunkan emisi gas rumah kaca merupakan target pemerintah dalam pembangunan rendah karbon. “Untuk mencapai FOLU Net Sink 2030,” katanya.
FOLU Net Sink adalah seimbangnya pelepasan dan penyerapan karbon dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU). Dengan menyetop pembukaan hutan, pemerintah berharap pelepasan karbon dari deforestasi terencana melalui penggundulan hutan di areal konsesi seimbang.
Masalahnya, tak ada penjelasan di mana saja luas hutan alam primer 66,2 juta hektare itu. Apakah peta ini sudah memadukannya dengan izin konsesi perusahaan kayu yang sudah terbit? Apa parameter hutan alam primer?
Secara umum, hutan primer adalah kawasan hutan alam yang sama sekali belum dieksploitasi manusia. Ada juga yang menyebut hutan primer sebagai hutan perawan (virgin forest). Karena itu kawasan hutan yang sedang dan pernah dibebani hak perizinan dan persetujuan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan tidak dapat digolongkan dalam katagori hutan primer karena telah dieksploitasi oleh manusia.
Menurut Undang-Undang (UU) Cipta Kerja bidang kehutanan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan hanya dilakukan di dalam kawasan hutan produksi maupun hutan lindung yang luasnya kini 98,1 juta hektare atau sekitar 78,52 % dari luas total hutan alam Indonesia. Sementara hutan lindung luasnya 29,5 juta hektare dan hutan produksi 68,5 juta hektare.
Jadi hutan alam primer dan gambut seluas 66,2 juta terletak dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang belum tersentuh tangan manusia. Benarkah kita punya hutan primer seluas ini?
Pemanfaatan hutan di kawasan hutan produksi menyusut dari 64 juta hektare pada 2000 menjadi 3,6 juta hektare pada 2019 oleh HPH, 11,3 juta hektare hutan tanaman industri, dan 600.000 hektare izin restorasi ekosistem. Jadi ada kawasan hutan produksi bekas konsesi HPH seluas 33,4 juta hektare yang terbuka dalam bentuk hutan.
Dalam penggunaan kawasan hutan produksi, sejak 1985 hingga akhir 2017, terjadi alih fungsi hutan menjadi non hutan seluas 6,7 juta hektare. Ada juga penggunaan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) seluas 563.463 hektare tahun 1979 hingga 2018.
Kini hutan juga diokupasi oleh perkebunan sawit ilegal. Dari 3,2 juta hektare, 454.291 di hutan produksi terbatas, 1,5 juta hektare di hutan produksi biasa, dan 1,2 juta hektare di hutan produksi yang dapat dikonversi. Perambahan, pertambangan, dan lainnya seluas 1,5 juta hektare. Ada juga 12,7 juta hektare untuk perhutanan sosial.
Dengan kata lain, jika hutan produksi tersisa 98,1 juta hektare sementara areal yang sudah dikelola 64 juta hektare, tinggal 34,1 juta hektare hutan alam primer. Jika kita tambahkan dengan luas rawa gambut 20,6 juta hektare pun (tanpa menghitung yang rusak), jumlahnya masih 54,7 juta hektare. Maka dari mana angka hutan primer yang masih murni seluas 66,2 juta hektare?
Di luar soal itu, perpanjangan penghentikan pembukaan hutan alam primer dan gambut ini menarik karena pemerintah memilih melindungi hutan Indonesia ketimbang mengeksploitasinya. Artinya, investasi baru di hutan yang dipermudah oleh UU Cipta Kerja akan memakai lahan bekas eksploitasi saja karena hutan alam primer sudah habis kuotanya.
Bakal maukah investor? Jika ada insentif menarik dan menguntungkan, mereka akan mengelola hutan bekas HPH yang rusak dan telantar kembali hijau lalu mempraktikkan multiusaha. Salah satunya perdagangan karbon.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :