PEMERINTAH telah memperpanjang moratorium pembukaan hutan alam dan gambut. Moratorium ini telah diperpanjang selama empat kali sejak 2011, yang dipicu oleh perjanjian kerja sama menekan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan dengan pemerintah Norwegia.
Kerja sama itu telah berakhir pada 10 September 2021. Norwegia tak jadi membayar penghindaran emisi Indonesia dari pencegahan deforestasi yang menjadi bagian perjanjian. Dari perpanjangan itu, peta indikatif hutan alam dan gambut yang tak boleh dibuka seluas 66.139.183 hektare, berkurang 42.911 hektare dibanding peta pada awal tahun ini.
Pada revisi ke-16, luas areal moratorium seluas 66,3 juta hektare, dengan rincian 51,5 juta hektare kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, 5,3 juta hektare lahan gambut yang tak masuk areal konsesi perusahaan hutan produksi atau Areal Penggunaan Lain (APL), serta 9,5 juta hektare hutan alam primer yang belum menjadi konsesi di hutan produksi atau APL. Belakangan pemerintah menghentikan secara permanen pembukaan lahan gambut.
Masalahnya, mengapa hutan konservasi yang tak boleh dibebani izin masih dimasukkan dalam moratorium ini? Seharusnya yang perlu dihitung dan dicermati adalah pemanfaatan hutan produksi yang acap tumpang tindih dan hutan lindung yang merupakan hutan dengan wilayah abu-abu: boleh atau tak boleh dimanfaatkan.
Pada revisi ke-14 peta moratorium, luas hutan konservasi 27,3 juta hektare. Agaknya luas ini masuk seluruhnya dalam peta moratorium, sementara sisanya seluas 24,2 juta hektare sebagian besar berupa kawasan hutan lindung dari luas total 29,5 juta hektare.
Tampaknya sudah tidak ada lagi hutan alam primer dan gambut yang masih utuh di hutan produksi jika kita hitung luas konsesi pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang telah terbit selama ini. Kalaupun masih ada luasnya tak lebih dari 1 juta hektare.
Yang menarik adalah APL yang masih memiliki tutupan hutan dimasukkan dalam peta moratorium. Padahal menurut pemerintah sendiri, APL merupakan lahan di luar kawasan hutan yang luasnya mencapai 67,4 juta hektare. Meski bukan kawasan hutan, 12% APL atau 7,9 juta hektare diperkirakan masih memiliki tutupan pohon.
Jadi jika dilihat lebih saksama, luas kawasan hutan alam primer dan gambut yang masuk dalam peta moratorium adalah hutan lindung seluas 24,2 juta hektare, hutan produksi sekitar 1 juta hektare, dan APL seluas 7,9 juta hektare. Artinya hutan alam primer Indonesia dan gambut yang tak boleh dibuka untuk alasan apa pun hanya 33,1 juta hektare saja.
Soal angka-angka luas hutan ini memang jadi masalah sejak lama. Pemerintah masih mengacu data yang berbeda-beda untuk, misalnya, perkebunan kelapa sawit. Tidak adanya satu peta ini yang membuat Indonesia tak punya acuan dalam kebijakan manajemen hutan. Apalagi jika dikaitkan dengan penyerapan karbon yang menjadi isu krusial dalam mitigasi krisis iklim.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :