PRESIDEN Joko Widodo telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon. Aturan yang akan menjadi dasar perdagangan karbon atau perdagangan emisi di Indonsia ditandatangani pada 29 Oktober 2021, sebelum Jokowi berangkat ke Italia lalu ke Glasgow menghadiri Konferensi Iklim ke-26 atau Conference of the Parties (COP26).
Perdagangan karbon menjadi salah satu agenda penting dalam COP26. Selain membahas komitmen US$ 100 miliar setahun negara maju, juga kerja sama penurunan emisi, yang antara lain melalui skema perdagangan karbon. Negara-negara produsen emisi di Eropa bisa membeli usaha penyerapan emisi dalam konservasi dan restorasi hutan Indonesia.
Menanggapi soal perdagangan karbon, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencibirnya karena akan berdampak pada masyarakat adat. Sekretaris AMAN Rukka Sombolinggi menyebut perdagangan karbon sebagai cuci tangan para produsen emisi.
Secara khusus AMAN bertemu dengan pengurus organisasi LSM ini pada 21 Oktober 2021 membahas aturan nilai ekonomi karbon ini. “Kami menemukan celah-celah dan dampaknya yang menghambat pengakuan masyarakat adat,” ujar Rukka pada 31 Oktober 2021.
Menurut Rukka, skema carbon offset secara mudah adalah mekanisme pembayaran utang karbon di tempat lain. Ia mencontohkan suatu perusahaan menghasilkan emisi karbon cukup besar di tempat A melakukan kegiatan yang dapat mengurangi karbon di tempat B.
Skema ini, menurut Rukka, menyebabkan kerusakan bumi akan terus terjadi karena produksi karbon akan terus digenjot dan produsennya merasa tak lagi bersalah karena sudah menyediakan penyerapnya. “Mereka seolah-olah sudah melakukan kebaikan karena membeli kredit karbon,” kata dia.
Rukka menjelaskan ada tiga dampak yang akan dirasakan masyarakat adat terkait jual beli karbon ini. Pertama, perdagangan karbon akan mendorong kian lambatnya pengakuan terhadap masyarakat adat karena hutan akan diberikan konsesinya kepada investor.
Kedua, akan mendorong perampasan wilayah adat karena wilayah adat biasanya masih terjaga. “Saudara kami di Kalimantan Tengah sudah menyatakan demikian,” katanya.
Kegiatan seperti reboisasi, restorasi, atau penghijauan dalam bentuk proyek menangkap karbon menjadi pengalaman terebutnya wilayah adat masyarakat di Kalimantan Tengah. Rukka menyebutnya pada “koboi karbon”.
Para investor ini datang ke wilayah adat dan menawarkan kepada masyarakat adat menjual penyerapan karbonnya. Menurut Rukka, beberapa masyarakat adat melaporkan kedatangan para “koboi karbon” ini yang datang menawarkan skema pembelian karbon secara agresif.
Jika memang masih dibiarkan seperti ini, menurut Rukka, akan ada perampasan wilayah baru yang pada dasarnya akan mengadu domba masyarakat adat. Maka, berdasarkan konsultasi pada tanggal 21 Oktober, AMAN menolak mekanisme perdagangan karbon dan pasar karbon yang karena akan melanggengkan pengrusakan bumi.
“Perdagangan karbon dan pasar karbon tidak hanya tak adil, juga bukan solusi mencegah krisis iklim,” kata Rukka.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :