DELEGASI 197 negara sedang bertemu di Glasgow, Skotlandia, dalam Konferensi Iklim ke-26 atau Conference of the Parties (COP26). Mereka membahas empat topik mitigasi krisis iklim: mencegah suhu bumi naik di atas 1,50 Celsius, pendanaan, kerja sama, dan melindungi habitat dan satwa liar.
Tema terakhir ini penting tapi acap terabaikan karena dianggap tak langsung berhubungan dengan krisis iklim. COP26 fokus pada cara mencegah pemanasan global dengan transisi energi, penyumbang terbesar produksi emisi dunia. Padahal, jika ingin mencegah suhu bumi, justru harus dimulai dari perlindungan keragaman hayati.
Maka ketika ramai COP26 di Glasgow, di Indonesia Universitas Gadjah Mada menggelar seminar selama sebulan Wildlife Ecology, Conservation, Management International Conference (WECMIC). “Kami percaya konservasi satwa liar harus mendapatkan perhatian lebih besar dalam diskusi perubahan iklim global,” ujar Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong saat membuka seminar pada 1 November 2021.
Menurut Alue, konservasi satwa liar sama pentingnya dengan transisi energi dalam mitigasi krisis iklim. Ia mencontohkan akibat krisis iklim adalah munculnya virus corona akibat musnahnya satwa liar yang menjadi inang virus.
Mirza Kusrini, dosen IPB yang menjadi ahli The International Union for Conservation of Nature (IUCN), menyebutkan daftar merah IUCN 2021 sebanyak 839 flora dan 1.194 fauna berada di ambang kepunahan. Meski ancaman terhadap satwa liar akibat krisis iklim, Direktorat Penegakan Hukum KLHK menyebutkan bahwa perburuan menjadi ancaman terbesar.
Karena itu Redaktur Eksekutif Tempo Bagja Hidayat menyarankan agar komunikasi konservasi satwa liar diubah melalui kampanye dan kebijakan. Ia mengutip survei Indikator Politik Indonesia pekan lalu terhadap lebih dari 4.000 responden anak muda untuk mengukur pemahaman mereka terhadap krisis iklim.
Menurut para responden, korupsi, kerusakan lingkungan, polusi, dan krisis iklim adalah masalah besar hari ini. Namun ketika ditanya penyebabnya, mereka mengatakan bahwa deforestasi sebagai biang keladinya. Hanya 1% responden yang menyebut kehilangan biodiversitas sebagai penyebabnya. “Survei ini menunjukkan pemahaman publik terhadap konservasi satwa liar,” kata dia.
Menurunkan deforestasi memang penting, kata Bagja. Dalam satu dekade terakhir Indonesia berusaha keras menurunkan laju deforestasi. Barangkali karena itu, kata dia, publik memahami bahwa penggundulan hutan menjadi penyebab utama krisis iklim. Mereka tak mengarahkan pemahaman pada kehilangan biodiversitas.
Menurut Bagja, perlindungan pada keragaman hayati lebih penting ketimbang mencegah deforestasi. Sebab, dengan melindungi mereka, secara otomatis akan melindungi hutannya sebagai habitat satwa liar sehingga deforestasi juga turun. Jika kebijakan fokus pada mencegah deforestasi, kelak hutan akan kosong seperti temuan-temuan Rachel Carson, dalam buku Silent Spring, yang menggambarkan musim semi yang sepi karena burung menghilang akibat pestisida meski banyak pohon. Hutan yang kosong sama berbahayanya dengan hutan yang rusak.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam KLHK Wiratno menambahkan bahwa konservasi paling efektif jika melibatkan masyarakat. Masalahnya, keterlibatan akan terjadi jika mereka memahami bahwa konservasi sebagai alat utama melindungi hutan. “Karena itu konservasi perlu pendekatan sosial, ekonomi, budaya,” kata dia.
Profesor Jatna Supriatna, guru besar Universitas Indonesia, menunjukkan bahwa perlindungan satwa liar kurang mendapat perhatian dalam percakapan internasional. Convention on Biological Biodiversity, yang usianya setahun setelah COP, tak mendapatkan perhatian seheboh konferensi iklim.
Dengan mengutip survei Indikator, Jatna menyarankan agar konservasi masuk ke dalam kurikulum sekolah menengah pertama sehingga anak muda sadar sejak awal bahwa perlindungan terhadap keragaman hayati amat penting dalam melindungi bumi. Selain itu, kata dia, anak muda juga akan lebih mengenal satwa endemik Indonesia ketimbang satwa negara lain.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :