SEEKOR Paus Baleen terdampar di Pantai Ujung Pancu, Aceh Besar, pada Januari 2021. Dua tahun sebelumnya, November 2017, sebanyak 10 ekor paus sperma (Physeter macrocephalus) juga terdampar di pesisir pantai Aceh Besar.
Selain di Aceh, sebelas ekor paus pilot terdampar di Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, pada 2020. Dari data yang dikumpulkan oleh Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut pada 2020 hingga Februari 2021 tercatat 173 kasus mamalia laut mati terdampar di Indonesia.
Merujuk pada peristiwa-peristiwa itu, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (FKH USK) Banda Aceh, bekerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia, membuat Pelatihan Penanganan Mamalia Laut Terdampar pada 1-2 November 2021. Tujuannya, meningkatkan kapasitas kemampuan peserta memberikan respons cepat dalam menangani dan menolong mamalia laut yang terdampar sebelum mereka tewas.
Respons cepat tenaga medis dan relawan berperanan penting yang mempengaruhi tingkat keselamatan (survival rate) satwa. Kebutuhan sumber daya manusia yang kompeten dalam teknik penanganan, pelepasliaran, hingga aspek medis dalam kejadian mamalia laut terdampar menjadi beberapa alasan yang melatarbelakangi pelatihan jejaring “First Responder”.
“Sejak 2013 hingga sekarang ini setidaknya ada 1.200 orang di berbagai wilayah Indonesia yang telah berkompeten sebagai tenaga First Responder,” kata Dwi Suprapti, penyuluh dalam kegiatan ini pada 2 November 2021.
Dengan pelatihan itu Dwi Suprapti berharap kapasitas dan kemampuan para First Responder serta kesadaran masyarakat terkait pentingnya pelaporan dan penanganan mamalia laut terdampar di Indonesia terus meningkat, sehingga mamalia laut yang statusnya dilindungi punya kesempatan hidup lebih tinggi.
Dekan FKH USK Teuku Reza Ferasyi menambahkan bahwa kegiatan ini adalah upaya menyelamatkan mamalia laut melalui pemberian wawasan dan pelatihan. “Ini adalah upaya menjamin ketersediaan sumber daya manusia untuk memiliki keahlian terkait, khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki potensi tinggi ditemukannya mamalia laut yang terdampar,” ujarnya.
Adapun Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Direktorat Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Andi Rusandi menyebutkan penyebab banyaknya mamalia laut yang terdampar ini belum jelas hingga sekarang. Ia memperkirakan penyebabnya perubahan iklim. “Perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikannya,” ujar Andi.
Di masa lalu, hewan laut yang terdampar menunjukkan ada yang tak beres dalam ekosistem perairan. Flu Spanyol pada 1918 diawali dengan kematian massal burung laut dan lumba-lumba. Burung laut mati akibat memakan tiram yang terinfeksi virus.
Studi Tai-Jin Kim dari Universitas Suwon Korea Selatan menemukan kaitan antara naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dengan kematian-kematian mamalia laut dalam pelbagai pandemi. Tiap kenaikan emisi membuat suhu laut naik dan ekosistem laut terganggu.
Studi pada 2019 itu melacak penyebab tiga jenis flu paling mematikan dalam sejarah manusia: Spanyol, MERS, dan SARS. MERS, yang dikenal sebagai flu unta, mewabah di Timur Tengah hingga dunia setelah ratusan lumba-lumba mati di pesisir pantai Teluk Persia pada 2012.
Perubahan iklim tak hanya membuat kematian mamalia laut. Kesehatan ekosistem laut akan mempengaruhi berbagai aspek, termasuk manusia. Selain pandemi, laut yang sekarat karena suhunya naik membuat perikanan tangkap yang menjadi andalan mata pencarian nelayan ikut kolaps.
Sebab laut adalah ekosistem yang menyerap 23% emisi global. Jika ia rusak, emisi tersebut akan menjadi gas rumah kaca yang kian menumpulkan atmosfer menyerap emisi yang dilepaskan manusia.
Upaya pelestarian mamalia laut, kata Andi, berarti menjaga kelangsungan perikanan dan perekonomian masyarakat pesisir. Salah satu caranya mencegah suhu bumi makin menghangat dengan menekan jumlah emisi karbon agar tak ada lagi paus yang terdampar di pantai karena kepanasan di rumah mereka.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Penggerak @Sustainableathome
Topik :