SEHARI setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Deklarasi Glasgow menghentikan degradasi dan deforestasi pada 2030 tanggal 1 November 2021 di COP26, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia menulis di Twitter: “Pembangunan besar-besaran di era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.”
Beberapa jam sebelumnya, Jokowi juga berpidato soal Indonesia yang bisa menekan laju deforestasi hingga angka terendah dalam 20 tahun terakhir. Jokowi mengklaim Indonesia serius dalam mitigasi krisis iklim mencegah pemanasan global.
Warganet Twitter pun bereaksi dengan cuitan Siti Nurbaya Bakar itu. Banyak yang heran mengapa seorang Menteri Lingkungan Hidup, yang seharusnya bertugas menjaga lingkungan Indonesia, mengatur tata kelola kehutanan agar tak destruktif terhadap planet bumi, membuat pernyataan kontraproduktif di sela acara Konferensi Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, yang membicarakan inisiatif mencegah krisis iklim.
Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.
— Siti Nurbaya Bakar (@SitiNurbayaLHK) November 3, 2021
Komentar warganet yang mengecam pernyataan Menteri Siti, di sisi lain, menggembirakan karena pemahaman terhadap perlindungan lingkungan kian meluas. Seperti tecermin dalam survei Indikator Politik Indonesia pekan lalu, anak muda menganggap korupsi, deforestasi, dan krisis iklim sebagai masalah terbesar hari ini.
Maka pernyataan Menteri Siti dalam sepotong twit membuat Twitter gaduh. Menteri Siti yang mencoba menetralkannya dengan meminta pengguna Internet membaca pernyataannya secara utuh di Facebook dan mengunggahnya di web KLHK, tak menghentikan kecaman.
Menteri Siti membicarakan soal “deforestasi yang adil”. Ia menyarankan agar publik Indonesia tak menyamakan definisi deforestasi dengan negara Eropa yang menebang “sebatang pohon di belakang rumah saja masuk dalam kategori deforestasi”. Untuk Indonesia, kata dia, nol deforestasi tidak mungkin karena ada 34.000 desa di Indonesia terisolasi di dalam hutan sehingga pemerintah mesti membukanya dengan membangun jalan.
Sejak semester 2, para mahasiswa kehutanan dan lingkungan mendapatkan pelajaran bahwa mengeksploitasi alam mesti ada penilaian lingkungan. Karena itu ada kewajiban membuat analisis mengenai dampak lingkungan. Dengan Amdal, kerusakan diminimalkan sehingga pembangunan tak destruktif kepada alam dan manusia. Pada pembangunan jalan, misalnya, manusia yang harus membelokkannya jika di sebuah tempat terdapat keragaman hayati yang tinggi.
Pembangunanisme dalam pikiran Menteri Siti adalah mengorbankan hutan sehingga deforestasi tak bisa dihindari. Padahal, seperti yang ia singgung, kelestarian bukan memproteksi alam dengan cara yang murni, tapi mengerem kerusakan masif dan fokus pada pemulihannya.
Di cuitan lain Menteri Siti juga menulis bahwa FOLU net sink 2030 tidak berarti nol deforestasi. FOLU adalah forest and other land use atau penggunaan lahan dan pemanfaatan hutan. FOLU Net Sink adalah keadaan ketika emisi yang dilepaskan di sektor ini sama dengan penyerapannya.
Pemanfaatan hutan dan sektor lahan menyumbang emisi global 24% dari total 51 miliar ton setara CO2 setahun. Emisi sebanyak itu terlepas menjadi gas rumah kaca, biang keladi pemanasan global karena deforestasi. Penyebabnya selain kebakaran, juga penggundulan hutan, baik secara legal melalui izin dan ilegal karena pembalakan liar.
Saat ini 15 miliar pohon di bumi ditebang untuk pelbagai keperluan setahun. Sebanyak 60% pembabatan pohon tersebut oleh aktivitas manusia dan sisanya akibat pemanasan global, oleh bencana atau sebab alamiah. Sementara pemanasan global diakibatkan oleh ulah manusia. Maka manusia menjadi penyebab utama kehilangan pohon di bumi, atas nama pembangunan.
Untuk menghindarkan planet ini dari krisis iklim, bumi membutuhkan sekitar 3 triliun pohon lagi agar emisi yang diproduksi manusia tak jadi gas rumah kaca. Saat ini manusia memproduksi gas CO2 sebanyak 26 miliar ton setahun. Sebanyak 15 miliar menjadi gas rumah kaca yang mengotori atmosfer. Jumlah pohon 3,04 triliun yang diperkirakan ada saat ini tak sanggup mencegah emisi itu naik menjadi gas rumah kaca.
Sebab hanya 45% emisi yang terpompa itu terserap oleh ekosistem darat. Sisanya, sebanyak 25% oleh laut, sisanya lagi oleh pelbagai ekosistem lain. Sementara 43% pohon yang ada di bumi berada di daerah tropis dan subtropis.
Menteri Siti juga menyitir konstitusi. Ia mengatakan menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation melawan mandat UUD 1945. Padahal krisis iklim tak kenal konstitusi. Bencana iklim akibat deforestasi tak peduli dengan pasal-pasal dalam undang-undang. Ia terjadi karena alam tak seimbang akibat pembangunan yang memakan lahan, yang merusak tanpa mengembalikannya ke fungsi semula, akibat pemakaian energi fosil yang masif dan bumi kehilangan hutan sebagai penyerap alamiahnya.
“Ini statemen yang sangat mengecewakan,” kata Kiki Taufik, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia. “Statemen ini justru semakin menunjukkan keberpihakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada pembangunan skala besar yang merusak lingkungan. Padahal seharusnya ia menjadi pengawal rakyat Indonesia mendapatkan haknya berupa lingkungan hidup yang baik dan sehat, seperti amanat UUD 1945 pasal 28H.”
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :