Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 08 November 2021

Bangunan Kayu Lebih Ramah Lingkungan

Pemanfaatan kayu hutan alam terus merosot. Mengganti struktur bangunan dari beton dengan kayu akan menggairahkannya kembali dan lebih ramah lingkungan.

Bangunan kayu (Foto: Foundry Co/Pixabay)

KAYU hutan alam secara tradisional dimanfaatkan untuk industri kayu lapis dan penggergajian. Sementara produk kayu lapis dan kayu gergajian adalah komoditi atau produk massal yang secara ekonomi akan menguntungkan bila volume produksi dan pemasarannya berskala besar.

Dengan perhitungan skala ekonomi itu eksploitasi hutan alam terjadi secara berlebihan. Sehingga dalam kurun 25 tahun, terjadi penurunan izin hak pengusahaan hutan dari sekitar 60 juta hektare menjadi hanya 18 juta hektare.

Konstruksi Kayu

Hutan alam yang memiliki nilai manfaat sangat tinggi kini mengalami deforestasi dan kerusakan masif hanya dari pemanfaatan kayunya. Padahal menurut pakar ekonomi kehutanan Profesor Dudung Darusman, selama ini baru 5% pemanfaatan hutan alam kita.

Artinya masih banyak manfaat hutan alam selain kayu yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi. Atau bahkan belum diperhitungkan manfaatnya meskipun kita sesungguhnya telah merasakan manfaatnya. Manfaat yang membutuhkan kondisi hutan yang masih baik dan alami.

Karena itu perlu ada perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan alam produksi kita, dari mengejar volume menjadi mengutamakan nilai hutan alam. Nilai hutan alam terletak pada nilai selain kayu yang mengisi 95% hutan sehingga harus dikelola dengan baik dan tidak eksploitatif agar manfaatnya berkelanjutan.

Sungguh ironis kayu hutan alam yang memerlukan puluhan bahkan ratusan tahun untuk tumbuh, hanya jadi barang komoditas. Sebab, jika hanya komoditas, kayu bisa digantikan dengan jenis cepat tumbuh, seperti sengon maupun kayu karet. 

Perubahan paradigma pemanfaatan kayu hutan alam dari orientasi volume menjadi value menjadi sangat penting untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam akibat pemanfaatan kayunya. Caranya, kayu hutan alam tidak lagi diolah menjadi produk massal.

Untuk produk massal yang memerlukan banyak kayu, bisa dipasok oleh hutan tanaman atau hutan rakyat, hutan yang tumbuh di lahan milik. Sementara kayu hutan alam harus diolah menjadi produk bernilai tinggi (high end product/butik).

Ekspor produk kayu adalah panel, gergajian dan furnitur. Nilai produk furnitur hampir empat kali nilai produk kayu panel dan kayu gergajian per ton berat produk. Maka, seharusnya, kayu dari hutan alam tidak diolah lagi menjadi produk dengan nilai rendah, tetapi menjadi furnitur yang memiliki nilai lebih tinggi. Atau produk lain yang memiliki nilai lebih tinggi daripada panel kayu dan kayu gergajian.

Harga kayu akan sangat tergantung bagaimana memotong atau “menggeseknya” menjadi produk. Kayu yang dikupas menjadi veneer dan kayu lapis akan berbeda nilainya jika dipotong menjadi komponen dan furnitur sebagai produk akhir, meskipun jenisnya sama. Secara umum produk berbasis desain dan biasanya lebih personal akan memiliki nilai lebih tinggi daripada produk dasar dan massal.

Indonesia sudah lama memakai kayu sebagai bahan konstruksi bangunan. Namun sekarang semakin jarang kayu menjadi bahan infrastruktur. Ada persepsi memakai kayu untuk bangunan berarti tidak ramah lingkungan, selain soal kekuatan dan keawetan, dan keselamatan, dibanding beton. Masalah utamanya adalah makin sulit kayu berkualitas baik di pasar.

Persepsi tak ramah lingkungan ini kurang tepat karena penelitian menyebutkan bangunan kayu justru lebih ramah lingkungan. Maka kini negara-negara Eropa, Amerika Utara, Jepang, dan Australia saling berlomba membangun bangunan tinggi dengan konstruksi kayu.

Nilai ekspor perdagangan kayu Indonesia.

Kayu menyimpan karbon sepanjang ia tidak musnah. Maka meski pohon ditebang, karbon yang tersimpannya akan tetap ada di sana. Jika dibandingkan dengan semen, konstruksi kayu jelas lebih ramah lingkungan.

Semen adalah bahan konstruksi yang melepaskan hidro fluorokarbon (HFCs) selain CO2. Ini gas rumah kaca dengan konstanta pemanasan global kaca tinggi bagi atmosfer. HFCs tidak bisa terserap oleh pohon. Ia mengalir ke atmosfer dan tersimpan di sana ribuan tahun sehingga menumpulkan kemampuan selubung bumi kita menyerap emisi dan panas matahari.

Maka ini perlu komunikasi yang konstruktif untuk kembali ke pemakaian kayu sebagai bahan konstruksi. Naiknya kebutuhan pada kayu akan mendorong industri hutan kita lebih bergairah, dengan mendorong mereka mengelola hutan lebih lestari.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Perwakilan Forest Stewardship Council (FSC) Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain