DI masa pandemi Covid-19, kita melihat praktik korupsi malah naik. Korupsi terjadi pada dana bantuan sosial maupun dana-dana pemerintah untuk mencegah dan menangani dampak pandemi, ketika kita semua menderita.
Ada satu kesamaan dalam semua praktik korupsi, yakni konflik kepentingan. Konflik kepentingan terjadi ketika individu atau lembaga memiliki kesempatan–nyata atau hanya ditafsirkan–untuk mengeksploitasi posisi mereka guna mendapat keuntungan pribadi atau kelompoknya. Kesempatan itu dimanfaatkan dengan cara menyalahgunakan jabatan atau posisi.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, 2009) konflik kepentingan adalah situasi di mana seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya.
Dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, konflik kepentingan didefinisikan sebagai kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang, sehingga mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
Di masa lalu, konflik kepentingan yang menyebabkan korupsi terfokus pada sumber pengaruh tradisional, seperti hadiah kepada pejabat publik maupun hubungan pribadi ataupun keluarga. Peningkatan kerja sama pemerintah dengan sektor swasta dalam berbagai bentuk membuat konflik kepentingan menjadi kompleks.
Dalam Guidelines for Managing Conflict of Interest in the Public Service oleh OECD (2005) kerja sama seperti itu terbukti melipatgandakan peluang konflik kepentingan, seperti:
- Pejabat publik yang memiliki kepentingan bisnis swasta dalam bentuk kemitraan, kepemilikan saham, keanggotaan dewan direksi, investasi, kontrak pemerintah, dan lain-lain.
- Pejabat publik memiliki afiliasi dengan organisasi lain. Misalnya, pejabat publik senior duduk di dewan organisasi nirlaba yang menerima dana dari lembaga pejabat tersebut.
- Pejabat publik yang bekerja di sebuah perusahaan swasta mengambil posisi kunci di lembaga pemerintah yang memiliki hubungan komersial dengan perusahaannya (revolving doors).
Dengan demikian batasan hubungan antara pekerjaan publik dan swasta runtuh. Apakah konflik kepentingan adalah korupsi? Kelly J. Tood dalam “Why corruption always requires a conflict of interest” (2016) mengurai hubungan konflik kepentingan dengan korupsi:
Pertama, pemerintahan yang baik menganut prinsip bahwa pejabat publik akan memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi dalam keputusan dan kebijakan. Sebab, begitu seseorang berkonflik dengan kepentingan pribadi dalam tugas profesionalnya, obyektivitas pengambilan keputusan mereka akan terpengaruh di semua tingkatan, bahkan sampai ke pikiran bawah sadar.
Kedua, dalam pekerjaannya, setiap orang pasti memiliki sejumlah hubungan profesional dan pribadi yang terkadang bercampur. Misalnya, Anda mungkin sedang mengawasi tender untuk perusahaan Anda. Jika salah satu pesertanya adalah sepupu Anda, konflik kepentingan itu terjadi secara nyata.
Konflik kepentingan akan menjadi rumit jika penilaian etis masyarakat menyebutnya seperti itu. Misalnya, bank mengundi hadiah mobil secara acak. Ternyata pemenangnya adalah manajer bank itu. Maka meski prosesnya adil dan transparan, hasilnya bisa dianggap konflik kepentingan.
Ketiga, satu hal paling bermasalah dalam mengendalikan konflik kepentingan berkaitan dengan persepsi tugas publik. Karena menyangkut persepsi, konflik kepentingan jadi samar-samar. Misalnya, seorang pegawai tetap dipecat jika ada keluarganya membeli sebuah rumah yang ia tawarkan karena perusahaan mengaturnya begitu untuk menghindari diskon, padahal pegawai ini tak mengetahui anggota keluarganya membeli rumah.
Keempat, konflik kepentingan tidak selalu mengarah pada korupsi, tetapi korupsi hampir selalu membutuhkan konflik kepentingan. Pejabat yang membuat sebuah kebijakan lalu perusahannya yang melaksanakan kebijakan itu, jelas konflik kepentingan.
Karena itu perlu ada aturan tegas dalam hal transparansi menghindari konflik kepentingan. Misalnya, seorang pejabat publik yang memiliki saham di sebuah perusahaan harus membuat aturan untuk mengecualikan perusahaannya dalam tender.
Hukum Indonesia telah mengatur cara mencegah konflik kepentingan karena menjadi sumber atau tahap awal korupsi. Konflik kepentingan membuat kepercayaan publik runtuh sehingga kebijakan publik menjadi tidak afektif.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :