Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 09 November 2021

Perdagangan Karbon: Antara Emisi dan Greenwashing

Perdagangan karbon masih jadi perdebatan sebagai satu instumen mitigasi krisis iklim. Skema pasar yang tak adil?

Bayangan pohon tertimpa cahaya pagi (Foto: Asep Ayat/FD)

PRESIDEN Joko Widodo sudah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang nilai ekonomi karbon pada 29 Oktober 2021. Aturan ini akan menjadi landasan Indonesia memasuki perdagangan karbon di pasar wajib.

Selama ini, perdagangan karbon di Indonesia masih memakai pasar sukarela. Beberapa perusahaan restorasi menjual jasa melindungi ekosistem, konservasi, atau menjaga hutan dengan perusahaan luar negeri untuk mengganti emisi yang mereka produksi. Ada juga penduduk desa di Jambi yang menjual jasa perlindungan hutan di bursa karbon internasional. Atau sejumlah pembangkit batu bara yang membeli pengurangan emisi dari pembangkit energi terbarukan.

Dengan Perpres Nilai Ekonomi Karbon, perusahaan, masyarakat, atau pemerintah daerah yang melindungi hutan mesti melaporkan upaya tersebut kepada pemerintah sebelum menjualnya, kepada pemerintah pusat atau lembaga lain. Sebab penyerapan karbon kini akan dicatatkan dalam Sistem Registri Nasional agar masuk dalam nationally determined contribution (ND), target menurunkan emisi Indonesia. 

Perdagangan karbon juga menjadi tema pembahasan delegasi 197 negara dalam Konferensi Iklim ke-26 atau Conference of the Parties (COP26) di Glasgow hingga 12 November 2021. Akan efektifkah perdagangan karbon dalam menurunkan emisi? “Tidak, kami menolak perdagangan karbon,” kata Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dalam live Instagram majalah Tempo 6 November 2021 

Menurut Leonard, skema perdagangan karbon dalam Perpres NEK akan mendorong greenwashing atau cuci dosa para produsen emisi. Perdagangan karbon, kata dia, akan menjadi dalih produsen emisi mengganti polusi yang mereka produksi dengan membayar usaha penyerapan karbon oleh pihak lain. Sehingga tujuan mitigasi krisis iklim akan berakhir semata mencari cuan.

Dengan begitu emisi pun tak akan turun. Padahal, kata Leonard, pekerjaan utama dunia hari ini adalah menurunkan emisi gas rumah kaca sebagai biang keladi krisis iklim. Sejak Perjanjian Paris 2015 yang menyepakati penurunan emisi untuk mencegah pemanasan global, alih-alih turun, emisi makin naik. Pada 2015, jumlah gas rumah kaca sebanyak 49,85 miliar ton, kini 51 miliar ton.

Menurut Leonard, skema perdagangan karbon yang benar seperti skema menurunkan degradasi dan deforestasi (REDD) antara pemerintah Indonesia dan Norwegia. Pada 2011, kedua negara sepakat menjalin kerja sama bilateral mencegah deforestasi.

Penurunan deforestasi itu dihitung dengan penghindaran emisi atau penyerapan karbon yang dihitung berdasarkan unit karbon. Pada periode 2016-2017, pihak ketiga menghitung penyerapan emisi dari program itu sebanyak 11,2 juta ton setara CO2. Norwegia menghargai tiap unit karbon US$ 5 per ton. Namun kerja sama itu berakhir tanpa kejelasan.

Dengan skema kerja sama bilateral seperti itu, kata Leo, Indonesia terikat menurunkan laju deforestasi dan Norwegia juga terikat menghargainya. Sehingga upaya konservasi berjalan adil. Jika perdagangan karbon menjadi instrumen mitigasi krisis iklim, kata dia, harus juga diimbangi dengan menurunkan emisi secara radikal. “Ini yang pokok dalam mitigasi krisis iklim, yakni menghentikan pemakaian energi fosil dan menyetop deforestasi,” kata dia.

Energi fosil adalah penyumbang 60% emisi global, disusul deforestasi. Pada 2019, emisi gas rumah kaca energi fosil dan industri sebanyak 36,7 miliar ton dan penggunaan lahan 3,83 miliar ton. Jika dua soal ini terkendali, emisi global setidaknya terkurangi hampir 80%.

Perjanjian Paris 2015 menyepakati penurunan emisi 45% untuk mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius pada 2050. Namun, menurut perhitungan PBB, program penurunan emisi global hanya mencakup sepertiganya.

Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia Mufti Barri juga menolak skema perdagangan karbon karena instrumen elite yang tak menyentuh solusi krisis iklim. Perdagangan karbon, menurut dia, sistem pasar yang tidak adil karena negara tropis dengan hutan yang lebat menerima dampak emisi lalu dampak tersebut hanya dibayar dengan unit karbon.

Ujung perdagangan karbon adalah ekosistem yang tak hanya menyangkut pohon tapi juga tanah. “Bicara tanah harus membicarakan masyarakat adat,” kata dia. Membicarakan masyarakat adat, kata Mufti, adalah membicarakan hak ruang hidup dan hak atas lahan.

Selama ini masyarakat adat acap tersisih dalam rebutan ruang ketika hak pemanfaatan lahan mengutamakan investasi eksploitasi sumber daya alam. Pemerintah lebih berpihak kepada investor yang kuat secara hukum sehingga konsesi acap mengokupasi ruang hidup komunitas adat. Dalam perdagangan karbon, investor juga akan masuk ke wilayah adat yang memiliki wilayah dengan penyerapan karbon yang bagus.

Maka, kata Leonard, perdagangan karbon yang efektif jika dilakukan secara bilateral, bukan pasar karbon yang bebas. "Menurunkan emisi bukan di hilirnya, yakni perdagangan, tapi di sumbernya yakni menghentikan pemakaian energi fosil dan mencegah deforestasi," kata dia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain