Kabar Baru| 10 November 2021
Apa Isi Deklarasi Glasgow tentang Deforestasi
INDONESIA menjadi negara ke-56 dari 133 negara yang menandatangani Deklarasi Glasgow. Ditandatangani pada 2 November 2021 di sela Konferensi Iklim ke-26 atau Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia, deklarasi berisi tekad dari para penandatanganan menghentikan kehilangan hutan (forest loss) dan degradasi lahan.
Karena itu Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar menampik jika deklarasi ini berisi kesepakatan menyetop deforestasi. “Bukan zero deforestation 2030, tapi manajemen hutan lestari,” katanya, seperti dikutip CNN. Manajemen hutan lestari adalah kelanjutan kalimat menghentikan forest loss dan deklarasi lahan pada 2030.
Kalimat itu tercantum dalam paragraph 7 Deklarasi Glasgow. Bunyinya: We therefore commit to working collectively to halt and reverse forest loss and land degradation by 2030 while delivering sustainable development and promoting an inclusive rural transformation. Atau “…. komitmen kolektif menghentikan dan membalikkan hilangnya hutan dan degradasi lahan pada tahun 2030 sambil melakukan pembangunan berkelanjutan dan mempromosikan transformasi perdesaan yang inklusif.”
Lalu apa beda kehilangan hutan dan deforestasi? Ini menyangkut pengertian yang rumit tentang pembabatan hutan. Salah satu pengertian, misalnya, mengacu pada definisi bahwa kehilangan hutan (forest loss) adalah kehilangan hutan akibat deforestasi yang sudah dikurangi dengan aforestasi atau penanaman kembali.
Di Indonesia ada istilah deforestasi bersih atau deforestasi netto. Sama dengan pengertian forest loss, luas deforestasi netto juga sudah dikurangkan dengan luas hutan dari hasil rehabilitasi atau reboisasi.
Deforestasi juga punya pengertian yang luas. Belum lagi ada nol deforestasi dan nol deforestasi bersih. Banyaknya pengertian ini mengakibatkan beda definisi deforestasi akibat pengertian hutan sebagai objeknya beda-beda.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan deforestasi netto sebesar 115.460 hektare pada 2019-2020. Luas rehabilitasinya 3.100 hektare pada periode tersebut. Angka ini menurun drastis dibandingkan deforestasi netto sebelumnya seluas 462.500 hektare.
Meski tak menyebutkan angka spesifik, Presiden Joko Widodo menyebutnya sebagai deforestasi terendah dalam 20 tahun terakhir ketika berpidato di COP26. Menurut Jokowi, penurunan angka deforestasi menunjukkan komitmen Indonesia yang serius dalam mitigasi krisis iklim.
Klaim ini mendapat komentar sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Greenpeace Indonesia dan Forest Watch Indonesia. Arie Rompas, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, misalnya, menunjukkan data deforestasi resmi pemerintah secara akumulatif pada 2015-2020.
Dari data itu, Arie menghitung total deforestasi selama lima tahun seluas 2,13 juta hektare. “Ini setara 3,5 kali luas Pulau Bali,” katanya di Facebook. Sementara deforestasi pada periode 2003-2014 seluas 4,19 juta hektare. Artinya, luas deforestasi selama lima tahun terakhir seluas 51% dari deforestasi selama 12 tahun.
Pernyataan Greenpeace memantik pernyataan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Ruandha Agung Sugardiman. Seperti ditafsirkan detik.com, Ruandha menantang Greenpeace membuka data deforestasi. Padahal, seperti disampaikan Arie Rompas, mereka mengutip data KLHK yang juga menjadi basis pernyataan Jokowi dan Ruandha.
Deforestasi belakangan menjadi polemik setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menulis di Twitter, sehari setelah Deklarasi Glasgow, bahwa pemerintahan Jokowi tak akan menghentikan pembangunan besar-besaran atas nama (menekan) emisi dan deforestasi.
Tekad Menteri Siti Nurbaya ini sejalan dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang memberikan pelbagai kemudahan kepada investasi, termasuk industri ekstraktif yang membutuhkan lahan untuk bisnis. Sebut saja analisis mengenai dampak lingkungan yang disederhanakan dengan mengeluarkan ahli dan organisasi lingkungan terlibat menyusunnya.
Belum lagi 201 proyek strategis pemerintah hingga 2024. Antara lain lumbung pangan (food estate) di areal seluas 2,3 juta hektare. Temuan majalah Tempo, di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, mengungkap perusahaan yang dibentuk Kementerian Pertahanan hendak mengubah hutan 33.000 hektare untuk perkebunan singkong.
Menteri Siti juga menerbitkan aturan yang membolehkan membuka hutan lindung yang sudah tak berfungsi lindung untuk food estate. Deforestasi menjadi tantangan Indonesia menurunkan emisi sebesar 29% pada 2030 mengingat industri batu bara mendapatkan insentif sementara penghentian pemakaian energi fosil untuk listrik baru berhenti pada 2050.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :