Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 November 2021

Eksploitasi Kayu vs Batu Bara

Eksploitasi kayu dan batu bara: mana lebih ramah lingkungan?

Pertambangan batu bara di Jambi (Foto: Istimewa)

SUMBER daya alam tergolong dua: bisa dipulihkan dan langsung punah begitu dieksploitasi. Hutan dan sumber daya laut termasuk bisa dipulihkan asal eksploitasinya tak berlebihan dan memakai prinsip keberlanjutan. Minyak, gas, batu bara akan terus berkurang ketika diambil. 

Minyak, gas, batu bara, juga akan sekaligus merusak hutan ketika dieksploitasi jika pengeboran dan penggaliannya di darat. Hutan yang rusak sekaligus melepaskan emisi yang diserapnya. Tidak mengherankan jika energi fosil kini menjadi sumber utama krisis iklim.

Konstruksi Kayu

Sepanjang sejarah pemerintahan Orde Baru (1967-1998), minyak bumi dan kayu menjadi tumpuan sumber devisa negara untuk membiayai pembangunan. Minyak bumi menepati urutan teratas sebagai penyumbang devisa negara, disusul kayu.

Indonesia pernah menjadi anggota organisasi negara pengekspor minyak bumi (OPEC), karena kelebihan produksi minyak, namun kini sudah jadi importir. Pada periode 1970-1990, sektor migas menyumbang US$ 20,66 miliar per tahun atau 62,88% penerimaan negara.

Dari hutan, produksi kayu lapis Indonesia pernah merajai dan menguasai pasar kayu tropis (hardwood) dunia pada 1990-1995. Sektor kehutanan menyumbangkan devisa negara US$ 16 miliar per tahun.

Sama seperti minyak, kejayaan kayu hanya sampai tahun 2000. Ini tahun terbanyak jumlah perusahaan HPH yang mengelola 64 juta hektare, lalu meredup dan menyusut dari tahun ke tahun. Menurut BPS, hingga 2020 jumlah perusahaan HPH tinggal 201 yang memproduksi kayu 5,3 juta meter kubik dari luas hutan kurang dari 18 juta hektare. 

Nilai penerimaan negara pun turut merosot. Pada 2011-2017, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kayu, berupa dana reboisasi, provisi sumber daya hutan (PSDH), iuran usaha, iuran izin jasa lingkungan, denda eksploitasi, hingga gati rugi tegakan hanya Rp 20,7 triliun. Ganti rugi tegakan adalah denda 10 kali PSDH jika menebang kayu secara ilegal. Sementara PSDH hasil hutan bukan kayu pada 2017 hanya Rp 15,8 miliar.

Jika dibandingkan PNBP minyak dan batu bara, nilainya amat jomplang. Pada 2011-2017 mencapai Rp 107,9 triliun. Sumber daya yang akan segera habis dan tak ramah lingkungan memang biasanya lebih menggiurkan secara ekonomi.

Sumber daya hutan sebagai sumber daya yang dapat dipulihkan, masih mampu ditanam kembali dan dapat menghasilkan penerimaan negara berupa PSDH dari tanaman baru yang dihasilkan. Sementara lahan bekas tambang yang sudah dieksploitasi sudah tidak mungkin menghasilkan penerimaan negara lagi.

Di Indonesia, HPH biasanya berubah menjadi hutan tanaman industri ketika kayu hutan alamnya telah habis. Pada 2010, HTI sebanyak 284 unit usaha dengan areal kerja 12,35 juta hektare. 

Sementara hutan alam terus menurun pada 2007-2012, kinerja HTI naik. Pada periode itu kontribusi HPH memenuhi kebutuhan bahan baku industri (BBI) nasional turun dari 19,8% menjadi 14,6%. Sebaliknya HTI naik dari 63,5% pada 2007 menjadi 68,8% pada 2008.

Usaha pertambangan mineral dan batu bara dalam kawasan hutan ditempuh dengan penggunaan kawasan hutan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan diwajibkan membayar PNBP penggunaan kawasan hutan.

Sementara bagi provinsi yang kurang kecukupan luas kawasan hutannya, perusahaan pertambangan wajib membayar PNBP dan PNBP kompensasi.

Maka meski pertambangan menghasilkan penerimaan negara besar, biaya eksternalitas berupa kerusakan lingkungan lebih besar dari itu. Sementara hutan, meski bisa dipulihkan, ia juga menyumbang deforestasi. Ujungnya sama: krisis iklim.

Karena problem besar dunia hari ini adalah pemanasan global, eksploitasi alam baik tambang maupun hutan harus segera dikendalikan bahkan dihentikan dengan mengubah konsep bisnis sumber daya alam menjadi lebih ramah lingkungan.

Perdagangan karbon, jika dikelola secara benar dengan berorientasi pada mitigasi krisis iklim yang menghasilkan secara ekonomi, akan menguntungkan dalam mencegah pemanasan global. Jasa lingkungan atau hasil hutan bukan kayu lebih berkelanjutan ketimbang eksploitasi kayu yang belum tentu pulih kembali.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain