SEIRING pudarnya kejayaan kayu hutan alam Indonesia, banyak izin konsesi hak pengusahan hutan (HPH) habis kontrak, bisnisnya tak ekonomis, kayunya sudah habis, banyak perusahaan kayu bertumbangan. Pada 2000 masih ada 600 perusahaan, tahun 2020 Badan Pusat Statistik hanya mencatat 201 perusahaan yang aktif.
Untuk mengembalikan kejayaan industri kehutanan yang salah kelola karena hanya berorientasi kayu di masa lalu, pemerintah coba mengubahnya dengan pendekatan ekosistem. Hutan tak lagi dipandang semata kayu tapi seluruh potensi yang ada di dalamnya. Sehingga nilai ekonomi hutan pun menjadi tinggi.
Konsep perubahan paling signifikan adalah reposisi masyarakat dalam pengelolaan hutan produksi. Selama ini masyarakat hanya sebatas pekerja, kini menjadi pelaku usaha, baik dalam bentuk individu, kelompok masyarakat, koperasi, Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan usaha-usaha kecil dan menengah.
Sekarang, siapa saja memiliki akses dan kesempatan yang sama melaksanakan usaha-usaha memanfaatkan sumber-sumber daya hutan produksi. Di tingkat tapak ada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang mengkoordinasikan usaha-usaha itu.
Sebab manajemen hutan kini wajib memenuhi penurunan emisi yang sudah dijanjikan pemerintah Indonesia di depan PBB. Sektor kehutanan akan menurunkan 17-24 persen emisi pada 2030. Salah satunya melalui manajemen hutan berkelanjutan melalui penurunan deforestasi dan degradasi hutan yang disebut dengan RIL-C atau reduced impact logging-carbon yang menjadi metode usaha di hutan produksi.
RIL-C adalah teknik pembalakan hutan intensif dengan sistem operasi lapangan memakai teknik pelaksanaan dan peralatan yang tepat serta diawasi secara terpadu untuk meminimalkan kerusakan tanah maupun kerusakan tegakan tinggal, sehingga menghasilkan pelepasan karbon yang kecil. Target RIL-C menekan emisi sampai 40% dibanding praktik pembalakan umum.
Kebijakan RIL-C wajib dilaksanakan perusahaan kayu sejak 2018. Penilaian RIL-C melalui sistem verifikasi dan legalitas kayu atau SVLK dalam sistem pengelolaan hutan produksi lestari. Bagaimana praktiknya? Masih perlu kita lihat. Majalah Tempo menemukan pembalakan legal di Papua masih banyak yang menyalahi aturan ini.
Apa itu RIL? Reduced Impact Logging (RIL) adalah pemantauan sistematis dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi terhadap pemanenan kayu. RIL juga mencakup pembuatan jalan, penebangan, dan penyaradan.
Dalam Peraturan Pemerintah 23/2021 mewajibkan skema RIL. Praktiknya sebenarnya sudah direkomendasi dalam tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) sejak 1970.
Sayangnya rekomendasi yang baik ini tidak jalan di lapangan karena a) kurangnya pengawasan dalam praktik pemanenan kayu; b) kurangnya ketegasan dalam pelaksanaan RIL; c) kurangnya pemahaman keuntungan dari pelaksanaan RIL dan; d) kurangnya pemahaman terhadap tahapan yang diperlukan dalam pelaksanaan RIL dan kurangnya keahlian khusus.
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di provinsi dan kabupaten memainkan peranan signifikan memperkuat pengelolaan hutan lestari. Dengan berfokus pada pengembangan usaha-usaha berbasis masyarakat lokal multikomoditas, KPH punya peluang mengkoordinasikan manajemen hutan lestari.
Dalam Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2020-2024, KPH Produksi yang telah beroperasi berjumlah 80 unit pada 2015, lalu naik menjadi 347 unit. Ada 20 KPHP yang menerapkan prinsip pengelolaan hutan lestari seluas 11.339.000 hektar.
KLHK menilai ada 84 KPHP yang dinilai layak memenuhi syarat mendapatkan konsesi. Perubahan ini bisa jadi adalah sentralisasi pengelolaan hutan produksi dari swasta ke negara. UU Cipta Kerja mengembalikan pengelola hutan kepada investor untuk meningkatkan investasi dengan KPH sebagai koordinatornya.
Konsep ini layak dicoba mengingat dulu pengawasan pusat terlalu panjang dan jauh. Dengan koordinasi dan pengawasan di tingkat tapak, manajemen hutan lestari bisa mungkin lebih tertata dan terawasi agar konsep RIL atau apa pun namanya agar hutan tetap lestari kendati dieksploitasi sesuai tujuan manajemen hutan berkelanjutan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :