SEMBILAN tahun ke depan, sektor energi akan menjadi sektor yang paling banyak mengeluarkan emisi. Dari lima sektor lain, energi baru siap untuk mencapai karbon netral pada 2060, sementara sektor kehutanan sudah bisa net sink 2030.
Sektor energi perlu beralih dari batu bara yang polutif menjadi terbarukan, seperti surya, air, panas bumi, atau biomassa. Sebagai negara tropis Indonesia bisa memanfaatkan energi ini sekaligus untuk menggairkan kembali bisnis hutan tanaman industri yang mandek karena menurunnya permintaan terhadap kayu.
Keunggulan Pembangkit Listrik Tenaga Biomasa (PLTBm) bisa memenuhi sumber listrik yang berada di daerah pelosok karena sulit dijangkau oleh pembangkit konvensional. PLTBm juga lebih padat karya.
Dari menanam, mengolah, hingga menjualnya jumlah tenaga kerja 20% lebih banyak dibanding pembangkit batu bara. Yang terpenting bisa ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah HTI. Salah satu yang sudah menjalankannya adalah PT Selaras Inti Semesta (SIS).
PT Selaras sudah melakukan perencanaan multi usaha yang memadukan HTI kayu konstruksi dengan PLTBm. Dari blok seluas 20.000 hektare, perusahaan ini membagi persen distribusi produk meliputi 50% untuk kayu veneer (lembar kayu), 15% untuk kayu gergajian, 10% untuk arang, dan 25% untuk PLTBm. “Dari kayu veneer dan gergajian, 40% limbahnya untuk PLTBm,” kata Budi Basuki pada 10 November 2021.
Selain memanfaatkan limbah industri kayu, PT Selaras juga mempraktikkan multiusaha pangan seperti singkong, sorgum, kedelai dan serai wangi. Limbah hasil pengolahan komoditas tersebut juga menjadi sumber bahan bakar PLTBm. “Ini contoh riil multiusaha kehutanan,” ujar Endro Siswoko, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.
Menurut Endro, pemerintah berdarah-darah memperjuangkan implementasi multiusaha kehutanan di lapangan. PT Selaras menjadi contoh praktik nyatanya di lapangan. “Apalagi realisasi EBT baru 11% saja, pemerintah punya target untuk bauran energi dari EBT pada tahun 2030 sebesar 28%” ujar Endro.
Masalahnya, kata Budi, kendala pengembangan energi biomassa adalah harga, seperti menjadi keluhan energi terbarukan sejak lama. Harga woodchip atau woodpelet (sebagai bahan bakar) masih berpatokan meter kubik, bukan jumlah kalori. Padahal nilai kalori kayu pelet hampir setara dengan batu bara.
Batu bara dengan nilai kalori rendah nilainya berkisar 4.800-5.200 kalori. Sementara nilai kalori pelet kayu sebesar 4.600-4.900 kalori. Namun, harganya jauh lebih mahal dibanding batu bara.
Selain nilai keekonomian, kendala lain adalah dari luas konsesi hutan tanaman energi yang masih minim. Dari konsesi PT Selaras seluas 23.525 hektare, baru 4.730 hektare yang menopang kayu energi. “Solusinya perlu kebijakan terintegrasi antara sektor kehutanan dan energi untuk mempercepat implementasi biomasa sebagai campuran pembangkit batu bara,”kata Zainudin, asisten Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Dengan mewajibkan untuk co-firing (membaur batu bara dengan kayu), keberlanjutan bisnis hutan tanaman energi bisa lebih pasti karena pasarnya sudah jelas. “Bisa dibayangkan jika seluruh PLTU berkewajiban untuk melakukan bauran 5%, kebutuhannya tidak hanya 4.730 hektare itu saja,” ujar Endro.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :