DEFORESTASI sedang jadi isu hangat belakangan ini, terutama setelah pidato Presiden Joko Widodo di Konferensi Iklim ke-26 atau COP26 di Glasgow, Skotlandia. Jokowi mengatakan deforestasi 2020 terendah dalam 20 tahun terakhir. Lembaga-lembaga pemantau hutan mengoreksinya dengan menunjukkan data akumulasi penggundulan hutan dalam dua dekade terakhir.
Isu deforestasi memantik pertanyaan soal seberapa luas hutan Indonesia sekarang? Mengapa COP26 menyebut khusus Indonesia menjadi benteng terakhir planet bumi bersama Amazon dan hutan Kongo?
Untuk melihat data luas hutan kita mesti melihatnya secara serial. Menurut fungsi kawasannya hutan dibagi tiga: hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan produksi bisa dirinci lagi menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas. PP 23/2021 hanya membagi hutan produksi menjadi hutan produksi biasa dan hutan produksi yang dapat dikonversi.
Hutan produksi juga bisa diurai menjadi hutan produksi primer, hutan produksi sekunder, hutan produksi hutan tanaman, dan hutan produksi non hutan. Jika salah mengategorikan data serial akan berpengaruh pada hutan di bawahnya.
Menurut Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Hardwinarto (posisinya kini diisi Ruandha Agung Sugardiman) dalam diskusi COP25 di Madrid pada 2019, luas hutan Indonesia 125,2 juta hektare.
Pembagiannya: 29,1 juta hektare sebagai kawasan hutan produksi tetap, 26,7 juta hektare sebagai kawasan hutan produksi terbatas, 29,5 juta hektare sebagai kawasan hutan lindung, 27,3 juta hektare sebagai kawasan konservasi, dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang dapat dikonversi untuk kebutuhan pembangunan. Sementara lahan di luar kawasan hutan merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) 67,4 juta hektare. Meski bukan kawasan hutan, ternyata 12% di antaranya masih memiliki tutupan hutan seluas 7,9 juta hektare.
Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020, luas hutan Indonesia menyusut tinggal 120,3 juta hektare, yang terdiri dari 22,9 juta hektare hutan konservasi, 29,6 juta hektare hutan lindung, 26,8 juta hektare hutan produksi terbatas, 29,2 juta hektare hutan produksi biasa dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang dapat dikonversi. Sementara itu APL luasnya 67,5 juta hektare yang masih memiliki tutupan hutan seluas 6,4 juta hektare yang terdiri dari hutan primer 1,5 juta hektare dan hutan sekunder 4,9 juta hektare.
Hutan konservasi dan hutan lindung selama ini dianggap sebagai hutan perawan atau virgin forest. Anggapan ini tak sepenuhnya benar. Hutan konservasi terdiri dari hutan primer 12,5 juta hektare, hutan sekunder 4,8 juta hektare, hutan tanaman 0,1 juta hektare, dan non hutan (termasuk lahan kritis) 4,5 juta hektare. Sedangkan hutan lindung terdiri dari hutan primer 15,9 juta hektare, hutan sekunder 7,8 juta hektare, hutan tanaman 0,3 juta hektare dan non hutan (termasuk lahan kritis) 5,6 juta hektare.
Perbedaan luas hutan dalam setahun dari penjelasan Dirjen Sigit dan SOFO 2020, yang berkurang 4,9 juta hektare, terletak pada luas kawasan hutan konservasi. Kawasan hutan konservasi dibagi ke dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Kawasan suaka alam dibagi lagi menjadi cagar alam dan suaka margasatwa. Sementara kawasan pelestarian alam terdiri dari taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya. Semua tipe suaka dan pelestarian alam berupa daratan yang luasnya 22,1 juta hektare.
Yang belum dijelaskan oleh Dirjen Sigit di Madrid adalah 5,3 juta hektare suaka dan pelestarian alam perairan. Biasanya, luas ini tak masuk dalam laju deforestasi. DPR meminta kawasan ini diserahkan urusannya kepada Kementerian Kelautan agar tak tumpang tindih.
Ternyata luas hutan primer dan gambut di SOFO 2020 beda dengan penetapan luas dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.5446/MENLHK-PKTL/ IPSDH/PLA.1/8/2021 tanggal 26 Agustus 2021 tentang Penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Perizinan Berusaha, Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, atau Persetujuan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Baru pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (PIPPIB) Tahun 2021 Periode II.
PIPPIB 2021 periode II sebesar 66,14 juta hektare, sebelumnya 66,18 juta hektare. Ada pengurangan 42.911 hektare. Luas hutan ini, menurut aturan itu, tak boleh lagi dibuka untuk konsesi perusahaan. Masalahnya, mengapa perbedaannya bisa 20 juta hektare? Dalam SOFO 2020 hutan primer 46,8 juta hektare sudah termasuk APL 1,5 juta hektare. Dengan asumsi sisanya gambut maka luas hutan gambut yang tak boleh dibuka adalah 20 juta hektare. Benarkah luas ini?
Data penutupan lahan nonkehutanan, umumnya lahan kritis dalam kawasan hutan, luasnya juga tidak sama. Dalam SOFO 2020 penutupan lahan nonhutan dalam kawasan hutan 33,4 juta hektare, sementara dalam Rencana Strategis KLHK 2019 seluas 13,36 juta hektare.
Data-data yang berbeda ini kian membuka peluang polemik antara lembaga nonpemerintah dengan pemerintah, di tengah perdebatan soal mana data yang benar tentang laju deforestasi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :