DI COP26, pemimpin dunia sepakat menghentikan deforestasi sebagai salah satu cara mencegah krisis iklim. Uni Eropa bergerak cepat, para pemimpin negara-negara di kawasan ini tengah menggodok aturan yang akan melarang produk yang berkait dengan deforestasi.
Produk yang bakal dilarang, di antaranya, minyak sawit, cokelat, kopi, dan sapi. Rencana yang terungkap pekan lalu itu selaras dengan European Green Deal, sebuah upaya untuk memastikan hutan di dunia tetap menyerap karbon.
Hutan ibarat paru-paru bagi dunia, salah kelola dan mengeksploitasi yang terjadi selama ini membuat suhu bumi naik karena emisi yang kita produksi untuk menumbuhkan ekonomi tak memiliki penyerap alamiahnya. Akibatnya, emisi menjadi gas rumah kaca yang mengotori atmosfer yang berperan menjadi pelindung bumi dan penyerap emisi.
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menghitung kurang lebih 23% dari gas emisi rumah kaca berasal dari pertanian dan konversi lahan lainnya termasuk untuk peternakan. Dalam 30 tahun terakhir, berdasarkan data PBB, dunia telah kehilangan 240 juta hektare hutan akibat deforestasi.
"Proposal aturan ini menjadi tonggak baru mitigasi krisis iklim," ujar Virginijus SinkeviÄius, komisioner lingkungan UE seperti dikutip Euronews. "Targetnya bukan hanya deforestasi ilegal, juga ekspansi pertanian yang menyebabkan deforestasi."
Proses menjadi aturan butuh proses panjang. Draf yang diajukan perlu disetujui seluruh anggota Uni Eropa dan disahkan parlemen Uni Eropa. Paling tidak butuh dua tahun sampai aturan itu bisa dilaksanakan.
Organisasi Lingkungan menyambut baik rencana UE. Menurut Ane Schulmeister, staf senior kebijakan hutan WWF, rancangan aturan baru ini memiliki fondasi yang bagus. "Namun akan berjalan bila dilakukan semua anggota," kata Anke.
Tingkat konsumsi UE pada 1990 hingga 2008, telah menyumbang 10% dari keseluruhan deforestasi global. Mereka mengimpor berbagai komoditas pertanian, kopi, cokelat termasuk singkong dari Indonesia. Saat ini, impor komoditi pertanian Uni Eropa dari Indonesia, tercatat sebesar 4,48 miliar euro.
Membatasi produk konsumsi publik yang terkait dengan deforestasi bukan hal baru. Sudah banyak lembaga sertifikasi untuk memastikan rantai pasok berbagai macam produk tak merusak lingkungan, melanggar hak asasi manusia, atau menabrak pelbagai aturan yang melindungi lingkungan.
Indonesia punya Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian yang menelisik asal-usul produk sehingga disebut legal. Namun, pelaksaannya sangat tergantung pada komitmen dan implementasi konsep ini. SVLK, menurut majalah Tempo, tak bisa membendung produk hutan ilegal karena benteng auditnya oleh lembaga sertifikasi tak independen dari perusahaan pengola produk hutan.
Begitu juga dengan produk kelapa sawit. Greenpeace menyimpulkan sertifikasi gagal mencegah deforestasi. Menurut Greenpeace, pelbagai macam standar yang rigid dan detail untuk menjamin produk ramah lingkungan tak diikuti oleh pelaksanaan teknis yang menjaminnya di lapangan.
Di Indonesia sawit memakai 3,1 juta hektare kawasan hutan yang ilegal. UU Cipta Kerja hendak mengampuninya dengan memutihkan sawit ilegal itu dengan denda dan komitmen melakukan jangka benah agar perkebunan kembali menjadi hutan.
Akibat sawit ilegal itu Uni Eropa melarang produk sawit dari Indonesia. Sementara di Indonesia menganggap penolakan itu sebagai kampanye hitam bagi sawit Indonesia karena Eropa memiliki rencana mengembangkan bunga matahari sebagai bahan bakar nabati yang kini bersumber dari sawit.
Aturan pengetatan Uni Eropa terhadap legalitas produk untuk mencegah deforestasi akan kembali memicu perang dagang mengingat pelacakan sumber daya hutan dan lahan amat tergantung pada seberapa serius implementasinya di lapangan. Dengan kata lain, larangan itu akan tergantung pada tata kelola manajemen hutan di tiap negara.
Alih-alih mencegah deforestasi, larangan itu akan menyuburkan praktik pencucian produk hasil hutan karena tata kelola menjadi problem serius di negara berkembang. Sebab, dalam hukum ekonomi, produk akan menemukan pasar yang mau menerima tanpa peduli pada nasib bumi. Meskipun hal baiknya, secara konsep, pengetatan itu akan mendorong tata kelola baik dan manajemen hutan lestari di negara-negara produsen seperti Indonesia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Penggerak @Sustainableathome
Topik :