Kabar Baru| 25 November 2021
Harga Karbon Ideal Agar Bisa Menurunkan Emisi
KONFERENSI Iklim ke-26 atau COP26 di Glasgow menyepakati perdagangan karbon sebagai salah satu cara mitigasi krisis iklim. Indonesia salah satu negara yang siap dengan skema perdagangan emisi karena Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres 98/2021 tentang nilai ekonomi karbon sebelum bertolak ke Skotlandia.
Salah satu skema perdagangan karbon adalah cap and trade atau perdagangan emisi antar industri. Pemerintah akan membuat batas maksimal produksi emisi tiap sektor. Bagi industri yang melewati batas produksi emisi itu harus membayar pajak karbon dengan cara membeli hak mengemisi kepada industri yang memproduksi emisi lebih rendah dari batas itu.
Ada juga carbon trading atau perdagangan emisi berupa jasa pemulihan ekosistem yang bisa dibeli oleh negara atau perusahaan yang memproduksi emisi. Skema ketiga adalah pembayaran berbasis kinerja yang mirip dengan perdagangan emisi, yakni jasa menjaga ekosistem seperti hutan dibayar berdasarkan penyerapan karbon.
Semua skema memakai harga per ton emisi setara CO2. Dengan Perpres Perdagangan Karbon ini, semua sektor yang masuk dalam target pengurangan emisi dalam nationally determined contributions (NDC) harus mengikuti skema ini. Dari lima sektor—kehutanan, energi, industri dan proses produksi, pertanian, dan limbah—Indonesia menetapkan pengurangan emisi 2030 sebanyak 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional dari jumlah emisi sebanyak 2,869 miliar ton setara CO2.
Tahun 2030 menjadi patokan mengukur penurunan emisi. Pada tahun itu, 197 negara anggota PBB yang mengikuti Konferensi Iklim hendak menurunkan emisi hingga 45% dari 51 miliar ton emisi gas rumah kaca untuk menahan suhu bumi tak naik 1,50 Celsius dibanding suhu tahun 1800. Namun, menurut IPCC, janji menurunkan emisi seluruh negara hanya mengurangi sepertiganya.
Setelah Konferensi Iklim COP26 Glasgow, penurunan emisi hanya naik 6 miliar ton. Sebelum COP26, dunia mesti menurunkan emisi 23-27 miliar ton gas rumah kaca agar suhu tak naik 1,5C. Setelah COP26, dengan membaca janji-janji dalam NDC, penurunan emisi menjadi 17-20 miliar ton.
Salah satu cara menurunkan emisi melalui pemaksaan pajak karbon. Negara dengan produksi emisi besar mesti membayar emisi itu melalui skema perdagangan karbon. Masalahnya, perdagangan karbon sangat tergantung pada harga patokan.
Saat ini, harga karbon berbeda-beda tiap negara. Antara US$ 3-100 per ton. Karbon Indonesia, misalnya, hanya seharga US$ 5 per ton. Itu tecermin dari kesepakatan pembelian karbon oleh Norwegia sejak 2011 dalam perjanjian menurunkan degradasi dan deforestasi (REDD). Berapa harga karbon yang ideal agar memaksa negara-negara patuh pada skema menurunkan emisi sesuai Perjanjian Paris 2015?
Perhitungan McKenzie, firma konsultan bisnis, harga karbon ideal sesuai Perjanjian Paris untuk mengurangi 45% emisi sebesar US$ 160 per ton. Dana Moneter Internasional (IMF) punya perhitungan sendiri. Dalam publikasi Juni 2021, IMF mengajukan usul agar harga patokan emisi dalam skema mitigasi krisis iklim sebesar US$ 75 per ton.
IMF mengkaji tiga harga karbon yang untuk sampai pada target menurunkan emisi 45% pada 2030. Harga terendah US$ 25, lalu US$ 50, dan US$ 75. Menurut perhitungan IMF, jika program penurunan emisi dalam hanya mengacu seluruh NDC negara G20, penurunan emisinya hanya 14,1 miliar ton. Artinya, jika hanya mengandalkan NDC suhu bumi akan naik sebesar 3-4C pada 2030.
Dengan menambahkan kewajiban pajak karbon sebesar US$ 50, penurunan emisi negara G20 sebesar 25,3 miliar ton. Angka yang cukup menahan suhu bumi tak naik 1,5C.
Masalahnya, dalam perhitungan IMF, dengan kajian kebijakan tiap negara sekarang, untuk mencegah suhu naik 1,5C, dunia membutuhkan penurunan emisi hingga 46,6 miliar ton pada 2030. Sehingga harga karbon US$ 50 tidak cukup mencapai target sebanyak itu. Maka harga karbon ideal mesti US$ 75 per ton CO2.
Kabar buruk bagi Indonesia. Target penurunan emisi karbon dalam NDC untuk harga karbon US$ 75 per ton sekali pun belum bisa mencapai target penurunan emisi 41%. Jika ingin mengurangi 1,1 miliar ton emisi pada 2030, harga karbon Indonesia mesti mendekati angka US$ 100 per ton.
Pada April 2021, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menerbitkan surat edaran yang melarang pemerintah daerah melakukan transaksi perdagangan karbon bagi negara koalisi LEAF yang dimotori Amerika Serikat karena harga karbon yang mereka tetapkan hanya US$ 5 per ton. Menteri Siti menilai harga karbon dalam penyerapan hutan Indonesia layak dihargai US$ 120 per ton.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :