Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 27 November 2021

5 Ambiguitas Pembatalan UU Cipta Kerja

Membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Cipta Kerja. Lima ambiguitas menurut Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Denny Indrayana, guru besar tata negara Universitas Gadjah Mada (Foto: Tempo)

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas UU Cipta Kerja pada 25 November 2021 mengandung 5 ambiguitas. MK menyatakan omnibus law ini inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).

Menurut Denny Indrayana, guru besar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, putusan ini terkesan jalan tengah sehingga tidak konsisten dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Konstruksi Kayu

Pada dasarnya, tulis Denny dalam rilis 26 November 2021, MK menilai UU Cipta Kerja tentang keabsahan prosedur pembuatannya, bukan isinya. Mahkamah pada awalnya terkesan tegas ketika menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945, karena tidak sejalan dengan rumusan baku pembuatan undang-undang.

Dengan alasan “obesitas regulasi” dan tumpang tindih antar undang-undang, MK memaklumi inkonstitusionalitas itu dengan memberi masa toleransi perbaikan UU Cipta Kerja paling lama dua tahun. Jika dalam dua tahun ke depan pemerintah tidak merevisinya, UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Inilah ambiguitas pertama. UU yang inkonstitusional masih diberi ruang berlaku selama dua tahun. Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas membatalkan UU Cipta Kerja. Kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, bukan alasan memberlakukan UU yang melanggar konstitusi selama dua tahun ke depan.

Ambiguitas kedua terkait putusan-putusan yang bersamaan tentang UU Cipta Kerja. Dari 12 putusan, MK menyatakan sepuluh di antaranya “kehilangan objek” karena UU ini sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Objek mana yang hilang? Bukankah MK masih memberlakukan UU Cipta Kerja selama dua tahun ke depan?

Ambiguitas ketiga: putusan MK menyatakan UU Cipta kerja masih berlaku, namun sepuluh putusan lain terkait UU ini menyatakan permohonan tidak diterima. Bagaimana mungkin putusan yang masih berlaku tidak boleh diuji isinya? Klausul ini diterima jika MK menyatakan UU Cipta Kerja otomatis tidak berlaku sejak dibacakan, tanpa jeda waktu sehingga menjadi “kehilangan objek”.

Dengan memutuskan tidak menerima semua pengujian materiil, apakah berarti putusan MK menjadi dasar “impunitas konstitusi” bagi norma-norma dalam UU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar UUD 1945?

Ambiguitas keempat. MK coba memberikan kejelasan pada paragraf 3.20.5 bahwa UU Cipta Kerja meski masih berlaku, pelaksanaan kegiatan “strategis dan berdampak luas ... ditangguhkan terlebih dahulu”. MK juga melarang pemerintah membuat kebijakan “strategis yang dapat berdampak luas” dan “membuat peraturan pelaksanaan baru” seperti amar ketujuh putusan itu. Apa batasan sesuatu dikatakan “strategis” dan “berdampak luas”? 

Berdasarkan amar ketujuh tersebut secara interpretasi terbalik (a contrario) MK memberi ruang berlakunya UU Cipta Kerja, peraturan pelaksanaan, dan kebijakan yang lahir dari UU Cipta Kerja itu sepanjang tidak strategis dan tidak berdampak luas. Pertanyaannya, apakah ada pelaksanaan UU Cipta Kerja yang tidak strategis dan tidak berdampak luas?

Jika jawabannya tidak ada, untuk apa MK memutuskan demikian? Kalaupun jawabannya ada, untuk apa pula UU Cipta Kerja masih berlaku hanya untuk sesuatu yang tidak strategis dan tidak berdampak luas? Padahal putusannya UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Apakah itu berarti MK menoleransi undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi hanya demi pelaksanaan yang sebenarnya tidak strategis dan tidak berdampak luas? 

Pasal 4 UU Cipta Kerja mengatur bahwa “... Undang-Undang mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja...” Artinya, terjadi tabrakan logika yang serius atau ambiguitas antara amar keempat yang menyatakan UU masih berlaku dengan amar ketujuh yang menangguhkan pelaksanaan tindakan dan kebijakan yang bersifat strategis.

Karena menurut UU Cipta Kerja, kebijakannya adalah strategis, sehingga wajar bila muncul penafsiran semua isi undang-undang terkena perintah penangguhan, walaupun masih berlaku. Mengapa MK membuat logika amar putusan yang bertabrakan?

Ambiguitas kelima mengenai formalitas pembuatan undang-undang. MK mengkritik minimnya partisipasi publik dalam pembahasan UU Cipta Kerja di DPR. Standar ini tak dipakai MK ketika menguji perubahan Undang-Undang KPK dan perubahan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, yang juga super kilat dan menihilkan partisipasi publik.

Jika mengacu pada putusan uji materi UU Cipta Kerja ini seharusnya UU KPK dan UU Minerba pun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Apa pun keganjilan itu, putusan MK sudah final dan berkekuatan hukum tetap. Maka, sekarang yang bisa dilakukan oleh pembuat undang-undang (presiden, DPR, dan DPD) segera merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundangan yang mengadopsi metode sapu jagat (omnibus law), sehingga menjadi landasan baku perbaikan UU Cipta Kerja.

Lebih penting lagi, kata Denny Indrayana, materi UU Cipta Kerja juga harus sesuai dengan aspirasi kepentingan publik, bukan mengabdi pada kepentingan investasi semata yang menegasikan kedaulatan rakyat Indonesia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain