SOAL deforestasi masih saja jadi perdebatan. Apalagi jika membicarakan datanya. Presiden Joko Widodo mengklaim tahun 2020 deforestasi terendah dalam 20 tahun terakhir. Jika merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan deforestasi bersih tahun lalu 115.460 hektare dengan reforestasi 3.100 hektare.
Sementara Greenpeace Indonesia menyangkalnya dengan merujuk pada data akumulasi deforestasi selama tujuh tahun kepemimpinan Joko Widodo bahwa deforestasi mencapai lebih dari 3 juta, sementara era Presiden sebelumnya dalam sepuluh tahun hanya 4 juta hektare. Mana yang bisa kita jadikan acuan untuk melihat seberapa parah deforestasi Indonesia?
Deforestasi sudah terjadi sejak sekitar 50 tahun lalu, ketika pemerintah mengizinkan investor asing menanamkan modal melalui UU Penanaman Modal Asing pada 1968. Bentuknya berupa investasi di kawasan hutan dengan pemberian konsesi.
Di Indonesia, wali data luas hutan dan kerusakannya ada di KLHK. Kalau data dan angka tersebut dapat diverifikasi dengan bukti-bukti historis, kronologis, kesatuan pengertian dan seterusnya, kita tak akan berbeda dalam memahaminya.
Silang pendapat soal deforestasi menunjukkan ada masalah dalam obyektivitas data, tujuan pendataan, metodologi, maupun waktu pengambilan data, bahkan verifikasi pengambil data serta penjelasannya.
Pemerintah menerapkan pengertian deforestasi bruto dan deforestasi neto. Deforestasi bruto jika angkanya belum dikurangi dengan angka reforestasi alias rehabilitasi atau penanaman hutan kembali.
Sewaktu saya masih jadi mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB tahun 1978, istilah deforestasi belum ada. Dalam sebuah tulisannya di Kompas tentang program reboisasi dan penghijauan di Indonesia tahun 1977, dosen Fakultas Kehutanan IPB Syafii Manan menyebut bahwa luas hutan Indonesia 122 juta hektare, 40 juta hektare di antaranya adalah lahan kritis, lahan tidak produktif, lahan telantar.
Syafii tak menyebut 40 juta hektare itu deforestasi atau degradasi hutan. Waktu itu, deforestasi bentuknya bekas perladangan berpindah, perambahan hutan untuk kebun dan pembalakan liar. Hanya luasannya dalam skala terbatas dan tidak signifikan dari luas total hutan di Indonesia.
Setelah Reformasi 1998, istilah deforestasi mengacu kepada lahan kritis dalam kawasan hutan. Masalahnya, tiap era Presiden, datanya beda-beda, bahkan kadang disamarkan dengan lahan kritis di luar kawasan hutan sehingga angka deforestasi yang sesungguhnya menjadi kabur dan tidak jelas lagi karena tidak ada pemisahan data dan angka antara di dalam dan di luar kawasan hutan.
Pada 2013, Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Kehutanan melansir luas lahan sangat kritis seluruh Indonesia mencapai sekitar 24,3 juta hektare, di dalam kawasan hutan 15,58 juta hektare (64 %), sedangkan di luar kawasan hutan mencapai sekitar 8,72 juta hektare (36 %).
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK 2020-2024, menyebut lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektare (2018). Tak ada penjelasan pengurangan luas lahan kritis seluas 2,22 juta hektare itu.
Lain pula dengan data di buku “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020 oleh KLHK. Kawasan hutan tetap yang tidak berhutan atau tidak mempunyai tutupan hutan seluas 33,4 juta hektare. Luas ini terdiri dari lahan kritis di hutan konservasi 4,5 juta hektare , hutan lindung 5,6 juta hektare, dan hutan produksi terbatas 5,4 juta hektare, hutan produksi biasa 11,4 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 6,5 juta hektare.
Mungkin karena ada banyak definisi deforestasi. Ada yang mengacu ke deforestasi neto, ada yang merujuk pada satu pohon ditebang saja adalah deforestasi karena mengacu pada deforestasi bruto.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Indonesia Nomor 30/2009 mendefinisikan deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Sementara deforestasi hutan adalah penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.
Definisi itu diperkenalkan dalam sebuah dokumen Aliansi Iklim Hutan Indonesia (Indonesia Forest Climate Alliance/IFCA). Jadi, deforestasi menurut aturan ini adalah deforestasi kotor. Deforestasi bruto hanya menghitung apa yang telah hilang (penebangan hutan alam) dan tidak mempertimbangkan kemungkinan pertumbuhan kembali hutan (baik secara alami maupun intervensi manusia), dan juga tidak mempertimbangkan serapan karbon dari pertumbuhan kembali hutan.
Jadi, jika mengacu kepada pengertian ini, jika satu pohon ditebang saja itu adalah deforestasi, tidak peduli seberapa luas penanamannya kembali di lokasi lain. Sebab, ketika satu pohon ditebang jelas akan membuat serapan karbonnya terlepas.
Tapi ini jadi terasa kurang adil karena menghutankan kembali juga butuh usaha keras mengingat fungsi hutan yang sempurna kembali butuh waktu lama. Apalagi, rehabilitasi selalu diklaim dari penanamannya saja, tanpa menyebut usia pohon yang sudah ditanam itu.
Jadi jika kita berdebat tentang angka deforestasi, untuk mengklaim keberhasilan menekannya, menjadi wajar karena kita berangkat dari definisi deforestasi yang berbeda. Faktanya, pohon yang ditebang tak tergantikan perannya dalam menyediakan jasa lingkungan oleh pohon lain di tempat lain.
Perbaikan 29 November 2021 pada periode pemerintahan Joko Widodo di grafik.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :