Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 29 November 2021

Pentingnya Partisipasi Publik dalam Pembuatan Kebijakan

Pembatalan UU Cipta Kerja menunjukkan absennya partisipasi publik. Dulu pembuatannya misterius.

Partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang dan aturan (Ilustrasi: Hurca/Pixabay)

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tak sesuai UUD 1945 menunjukkan ada yang keliru dalam memahami partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pembuatan omnibus law ini cacat prosedur. 

Pasal 5 UU Nomor 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundangan menyebutkan bahwa salah satu asas pembentukan aturan yang baik adalah keterbukaan. Ketentuan ini sejalan dengan hak masyarakat mendapatkan informasi yang ada dalam pasal 28F UUD 1945:

Konstruksi Kayu

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan mengampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Aturan ini sangat konstitusional. Dalam arti memenuhi hak demokrasi tiap-tiap orang. Karena itu tiap kali ada inisiatif pemerintah atau DPR membuat sebuah undang-undang, perhatian masyarakat tertuju pada proses pembuatannya. Ini hal yang wajar. Tiap aturan akan berpengaruh pada hidup sehari-hari tiap orang. Jadi pembuatannya perlu dikawal.

Hak memperoleh informasi itu ditegaskan pula dalam klausul menimbang UU Nomor 14/2008 tentang keterbukaan informasi publik:

…informasi merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional, hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik...

Dalam pembuatan UU Cipta Kerja, aturan-aturan konstitusional tak dijalankan. Dalam pernyataan-pernyataan publik, Presiden Joko Widodo coba mengantisipasinya agar terlihat sesuai dengan konstitusi.

Pada 27 Desember 2019, Presiden mengatakan, "Sebelum rancangan ini masuk ke DPR, para menteri koordinator, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sekretaris Negara ekspos ke publik. Jadi kalau ada hal yang perlu diakomodasi harus kita perhatikan, ada keterbukaan yang kita inginkan.”

“Saya enggak ingin RUU hanya menampung keinginan kementerian dan lembaga tapi tidak masuk ke visi besar yang saya sampaikan. Jangan sampai dimanfaatkan tumpangan pasal-pasal titipan yang enggak relevan.”

Selama ini, konsultasi publik dalam pembuatan aturan memang terkesan hanya untuk memenuhi syarat administrasi ketimbang memperdebatkan substansi dan atau membahas isinya. Saya ikut beberapa kali pertemuan yang membahas RUU Cipta Kerja.

Pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat sipil dan akademisi tidak ada informasi autentik yang saya dapatkan. Satu-satunya draf rancangan yang beredar saat itu bahkan dinyatakan secara resmi oleh Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian sebagai bukan hasil tim kerja pemerintah.

Saat itu, saya juga mencoba meminta dokumen naskah akademik kepada beberapa kolega di dalam pemerintahan tapi gagal. RUU Cipta Kerja seolah sebuah rahasia besar sehingga naskahnya misterius. Beberapa kali dokumen beredar tapi selalu dibantah sebagai bukan dokumen resmi. Beberapa pejabat bahkan akan mendapatkan sanksi berat jika "membocorkan" dokumennya.

Konsultasi publik dalam pembuatan aturan semestinya bukan karena ada perintah menjalankan undang-undang sebagai bagian dari demokrasi. Tapi karena konsultasi publik itu memang harus karena masyarakat yang akan terkena dampak aturan itu memang harus tahu sejak awal. Keterbukaan jauh lebih besar maknanya ketimbang hanya sosialisasi.

Dalam pembuatan undang-undang juga diatur asas “kedayagunaan”, “kehasilgunaan” dan asas “dapat dilaksanakan” (pasal 5). Maka makna keterbukaan berarti memberi ruang dua arah untuk berkomunikasi antara pembuat dengan masyarakat.

Asas-asas pembuatan undang-undang atau aturan itu menunjukkan bahwa pasal yang tepat isinya berarti harus memberi manfaat, hasil, dan sesuai dengan kondisi di mana pasal itu bisa dijalankan. Dengan demikian, para penyusun undang-undang harus memahami subyektivitas masyarakat yang hidup dalam kondisi berbeda-beda.

Apabila hak-hak masyarakat tak dipenuhi oleh para pelaksanaan kebijakan, mereka akan mudah dieksploitasi oleh mereka yang punya akses ke kekuasaan. Ini saja jika aturan mengakui hak mereka. Apalagi jika tak ada pengakuan hak masyarakat dalam pembangunan dalam undang-undang akibat pembuatannya tertutup dan diam-diam.

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, masyarakat mempunyai hak menyampaikan informasi atau memberitahu sebuah informasi kepada aparatur negara. Tiadanya pengakuan akan hak memberitahu mendorong negara menjadi otoriter sehingga menimbulkan ketakutan publik.

Bentuk ketakutan yang paling berbahaya adalah ketakutan yang menyamar sebagai “akal sehat” atau terselip dalam kebijakan dan peraturan. Aturan melarang orang berpendapat atau jika pun berpendapat akan dinyatakan sebagai melawan akal sehat dan niat baik pemerintah.

Ini berbahaya karena akan mendorong sikap apatis dari publik. Jika sudah begitu, Indonesia segera jatuh pada autoritarianisme yang susah payah kita rebut dengan darah dan nyawa mahasiswa pada Reformasi 1998.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain