Kabar Baru| 29 November 2021
Mitigasi Krisis Iklim Indonesia Butuh Rp 3.779 Triliun
BADAN Kebijakan Fiskal Indonesia selesai menghitung perkiraan biaya menurunkan emisi sebanyak 29% dengan usaha sendiri hingga 2030. Menurut Kepala BKF Febrio Kacaribu pada 29 November 2021, kebutuhan biaya menurunkan emisi sekitar 834 juta ton sebesar Rp 3.779 triliun.
Selain menurunkan emisi dengan usaha sendiri, dalam dokumen penurunan emisi nationally determined contribution (NDC), Indonesia menerima bantuan asing sehingga penurunan karbon sampai 41% atau 1,1 miliar ton setara CO2.
Jika nilai tengah penurunan emisi sebesar 35%, dengan dana sebesar itu tiap persen penurunan emisi membutuhkan anggaran Rp 108 triliun atau Rp 3,76 juta untuk menurunkan tiap ton emisi.
Menurut Febrio ada harga berbeda untuk tiap penurunan 1 juta ton emisi di masing-masing sektor sehingga membutuhkan anggaran tak sama dalam menurunkan emisi. Mengacu pada NDC, ada lima sektor yang akan diturunkan emisinya hingga 2030: energi, industri dan proses produksi, pertanian, limbah, dan kehutanan.
Febrio Kacaribu menerangkan lebih detail, sektor energi membutuhkan biaya paling besar untuk menurunkan emisi yakni sebanyak Rp 3.500 triliun. Dalam dokumen NDC, emisi sektor energi akan diturunkan sebanyak 11% dengan skenario 29% dan 15,5% dengan skenario 41%.
Pada 2030, jika tak ada mitigasi, sektor energi akan menghasilkan emisi sebanyak 1,669 miliar ton setara CO2. Energi memang menjadi sektor tertinggi penghasil emisi karena pembangkit listrik Indonesia masih memakai energi fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara.
Sektor kedua terbesar adalah kehutanan. Pada 2030, sektor kehutanan dan penggunaan lahan akan memproduksi emisi sebanyak 714 juta ton setara CO2. Dengan skenario 29%, emisi sektor ini akan diturunkan sebanyak 17,2% dan 24,5% dalam skenario 41%. Menurut perhitungan BKF, sektor kehutanan membutuhkan biaya Rp 93,28 triliun untuk mencapai penurunan emisi sebanyak itu.
Meski produksi emisinya tak sebanyak sektor keuangan, sektor limbah membutuhkan anggaran terbesar kedua setelah energi, yakni Rp 180 triliun. “Karena menyangkut pengelolaan limbah gas metana,” kata Febrio.
Prediksi emisi sektor limbah pada 2030 sebanyak 296 juta ton. Penurunan emisi sektor ini hanya 0,38% dengan skenario 29% dan 1% dengan skenario 41%. Anggarannya lebih besar mengingat gas metana punya faktor penyebab pemanasan global sebanyak 25 kali karbon dioksida.
Sektor terbesar keempat yang membutuhkan anggaran menurunkan emisi adalah pertanian, sebesar Rp 4 triliun. Dalam sembilan tahun mendatang, produksi emisi sektor pertanian akan sebesar 119,66 juta ton dan akan diturunkan sebanyak 0,32% pada skenario 29% dan 0,13% pada skenario 41%.
Sementara sektor industri dan proses produksi paling sedikit, yakni hanya membutuhkan anggaran Rp 920 miliar. Sektor ini pada 2030 diprediksi akan menghasilkan emisi sebanyak 69,6 juta ton setara CO2. Pemerintah hendak menurunkannya 0,1% dengan skenario 29% dan 0,11% pada skenario 41%.
Menurut Febrio, kebutuhan anggaran ini hanya sampai pada 2030. BKF belum menghitung kebutuhan anggaran hingga 2060, yakni target Indonesia mencapai nol karbon bersih atau net zero emission. Indonesia memundurkan target nol bersih emisi dari Perjanjian Paris 2015 yang mewajibkan anggota PBB mencapai nol emisi pada 2050.
BKF, kata Febrio, mesti menghitung lebih tajam lagi untuk mengetahui kebutuhan penanganan krisis iklim sampai 2060. “Angkanya akan lebih besar dari Rp 3.779 triliun itu,” ujarnya.
Anggaran Rp 3.779 triliun juga baru mitigasi krisis iklim, belum memasukkan adaptasi. Indonesia memasukkan skenario menangani perubahan iklim melalui mitigasi lewat pengurangan emisi dan adaptasi.
Salah satu cara mitigasi adalah melalui perdagangan karbon yang sudah disetujui sebagai salah satu skema mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius pada 2030 dalam COP26. Perdagangan karbon akan mewajibkan sektor-sektor produsen emisi masuk dalam pasar karbon wajib untuk memaksa mereka menurunkan produksi emisinya.
Artinya, semua sektor harus beralih ke energi bersih, mencegah kebakaran dan deforestasi, mengolah limbah, serta menerapkan teknik pertanian ramah lingkungan. Tanpa perubahan-perubahan itu, dunia akan gagal mencegah puncak krisis iklim yang diperkirakan PBB akan datang lebih cepat pada 2041.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :