KENDATI Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon baru ditandatangani Presiden Joko Widodo pada akhir Oktober 2021, Kementerian Sumber Daya Energi dan Mineral sudah mengujicobakannya di pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara.
Perpres 98/2021 itu pada dasarnya mengatur pasar karbon mandatori, yakni pasar karbon wajib bagi lima sektor yang masuk dalam program penurunan emisi dalam nationally determined contribution atau NDC. Ada tiga skema perdagangan karbon yang diatur di sana: perdagangan emisi (carbon trading), jual-beli hak mengemisi (cap and trade), dan pembayaran berbasis kinerja untuk jasa pemulihan ekosistem.
Menurut Wanhar, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian Energi, sejumlah pembangkit listrik batu bara sudah mencoba skema cap and trade. Pembangkit yang memproduksi emisi melebihi batas emisi harus membeli hak mengemisinya kepada pembangkit yang memproduksi emisi di bawah batas yang ditetapkan pemerintah.
Kementerian Energi membagi batas mengemisi itu ke dalam tiga kelompok PLTU berkapasitas 7 megawatt hingga 1.000 megawatt. PLTU yang mempunyai kapasitas di atas 400 megawatt (MW) batas emisinya sebesar 0,918 ton CO2/megawatt jam (MWh), PLTU 100-400 MW batas emisnya 1,013 ton; dan PLTU mulut tambang kapasitas 100-400 MW batasnya 1,094 ton.
Menurut evaluasi Kementerian Energi, tahun 2019 PLTU menyumbang sebesar 75,2% emisi dari pembangkit. Kapasitas listrik PLTU batu bara menyumbang 65,64% listrik secara nasional hingga realisasi Agustus 2021. “Batas emisi itu sudah kami diskusikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta perguruan tinggi” kata Wanhar dalam forum perdagangan karbon pada 1 Desember 2021.
Berry Beagan, tenaga ahli Kementerian Perdagangan, menambahkan sebelum menerapkan perdagangan karbon, ekosistem pasar karbon mesti terbentuk “Kita memerlukan gambaran proyek penurunan emisi juga penyerapan karbon untuk membangun ekosistem dagang secara keseluruhan di luar Perpres NEK,” ujarnya.
Berry mengingatkan jika membahas pasar, barangnya harus jelas terlebih dahulu sebelum pasarnya terbentuk dengan sendirinya. Artinya, mekanisme perdagangan karbon meski terbentuk antar lembaga yang akan menjual-belikannya.
Menurut Berry pemerintah seluruh dunia punya pekerjaan rumah menekan suhu bumi tak naik melewati 1,50 Celsius. Dalam perhitungan dia, kebutuhan penurunan emisi sebanyak 25 giga ton setara CO2. “Penyerapannya setara dengan penyerapan 400 proyek Katingan-Mentaya sebelum 2030,” tambahnya. Katingan-Mentaya adalah proyek penyerapan karbon seluas 157.000 hektare oleh PT Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah dengan ekosistem 80% rawa gambut.
Selain Katingan, ada tiga proyek konsesi lain yang usaha pemulihan hutannya ditukar dengan jasa penyerapan melalui perdagangan karbon. Menurut Berry, potensi perdagangan karbon Indonesia sebesar US$ 10-15 miliar per tahun, setara nilai ekspor kelapa sawit.
Dari mana angka itu? Berry menghitungnya dari nilai penyerapan karbon Indonesia sebesar US$ 5 per ton, merujuk nilai karbon dalam kerja sama Indonesia-Norwegia. Menurut Berry, jika semakin bagus ekosistem penyerapan karbonnya nilai pasarnya akan makin tinggi, seperti di Australia yang mencapai US$ 30 per ton.
Apa yang disampaikan Berry adalah skema pembayaran berbasis kinerja. Perusahaan seperti RMU, mendapatkan pembayaran karena merestorasi hutan gambut yang rusak dari ancaman kebakaran atau perambahan. Penyerapan itu bisa dijual kepada produsen emisi seperti pembangkit batu bara atau sektor yang memproduksi emisi banyak.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menilai harga karbon Indonesia terlalu kecil. Dalam suratnya kepada para gubernur dan bupati, Siti Nurbaya mengatakan nilai penyerapan karbon Indonesia sebagai negara tropis bisa mencapai US$ 120 per ton.
Sementara McKenzie, lembaga konsultan, menilai harga karbon ideal agar bisa menjadi instrumen mitigasi krisis iklim mesti US$ 160 per ton. Sementara IMF menghitung harga dasar karbon harus US$ 75 per ton jika dunia hendak menjaga suhu bumi tak naik 1,5C pada 2030.
Sektor energi yang paling banyak memproduksi energi. Jika uji coba Kementerian Energi berhasil menerapkan perdagangan karbon di PLTU, ke depan perdagangan karbon akan semakin bergairah antar memulihkan ekosistem dan paksaan pada produsen emisi mengubah teknologi mereka agar lebih ramah lingkungan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :