Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 04 Desember 2021

Jika Salju Kutub Utara Tak Ada Lagi

Salju adalah faktor utama pembentukan es di Arktik kutub Utara. Tanpa salju, bencana iklim kian mengancam.

Es mencair di kutub Utara (Foto: Mario Hagen/Pixabay)

TANDA krisis iklim paling nyata ada di kutub Utara. Lapisan es di Samudera Arktik itu mencair lebih cepat dari perkiraan para ahli tiap kali memprediksi iklim di masa depan. Ini akibat suhu bumi yang terus menghangat.

Dengan laju kenaikan suhu sekarang dan prediksi kenaikan 2,40 Celsius di akhir abad ini, es di kutub Utara akan lenyap pada 2050, namun bisa lebih cepat menjadi tahun 2040 dan tidak menutup kemungkinan lebih cepat lagi terjadi pada 2030.

Konstruksi Kayu

Kekhawatiran ini kian kuat. Dalam studi yang terbit di Nature pada 30 November 2021, sejumlah ilmuwan yang dipimpin Michelle McCrystall dari University of Manitoba, Kanada, mengungkap hujan air akan menggantikan hujan salju kutub Utara.

"Faktanya saat ini sudah terjadi hujan di Greenland, tapi pada masa depan hujan akan lebih sering,” kata Michelle seperti dikutip Time. "Bila kita melihat prediksinya, masalah yang sudah kita perkirakan akan datang lebih cepat."

Studi ini menunjukkan hujan akan mendominasi Arktik pada 2060 atau 2070, bila suhu global tak dibatasi melebihi 1,5-2C seperti yang disepakati dalam COP26. Prediksi ini lebih cepat beberapa dekade dari studi sebelumnya, yakni pada 2090.

Bahkan bila negara-negara berhasil menjaga laju kenaikan suhu tak lebih dari 1,5C atau 2C wilayah Greenland dan laut Norwegia akan tetap didominasi oleh hujan. Pada Agustus lalu, para ilmuwan terkejut hujan dengan hujan di puncak Greenland. Ini kejadian pertama dalam sejarah bumi.

Perubahan dari hujan salju kutub Utara ke hujan air berdampak besar. Menurut para peneliti, hujan menandakan pemanasan global terjadi makin cepat. Cirinya permukaan laut makin naik, jalan-jalan tenggelam, kelaparan massal melanda habitat rusa.

Cuaca ekstrem juga akan dialami Eropa, Asia dan Amerika Utara. "Apa yang terjadi di Arktik tidak hanya dirasakan di sana," kata Michelle. "Mungkin Anda berpikir Arktik jauh dari Anda, tapi dampaknya akan jauh sekali dari sana."

James Screen dari University of Essex, Inggris, yang terlibat dalam penelitian ini mengatakan model yang dihasilkan studi jelas menggambarkan Arktik akan mencair dan akan menjadi lautan biru tanpa es.

Salju adalah faktor utama pembentukan es di Arktik. Berkurangnya salju kutub Utara artinya berkurangnya es di lautan. Tanpa lapisan es, air laut di Kutub Utara akan menghangat, gletser mencair dan air laut naik, mengancam wilayah pantai.

Menanggapi hasil studi tersebut, Richard Allan dari University of Reading, Inggris kepada Guardian  mengatakan fakta ini mengerikan, dan merupakan alarm, bahwa perubahan iklim terjadi lebih cepat dari yang kita duga.

Ciri lain dampak krisis iklim adalah mencairnya es di puncak-puncak gunung tertinggi. Nirmal Purja, pendaki Nepal yang baru memecahkan rekor naik 14 puncak gunung tertinggi hanya dalam waktu tujuh bulan, bersaksi bahwa enam tahun lalu penduduk Himalaya masih mendapatkan air bersih dari lelehan salju.

Dalam kesaksiannya di film dokumenter 14 Peaks: Nothing is Impossible yang sudah tayang di Netflix, Nirmal Purja mengatakan penduduk di dataran tinggi Himalaya kesulitan mendapatkan air bersih. Salju di gunung-gunung tertinggi dunia mencair dan meleleh.

Mencairnya es di kutub Utara atau Himalaya juga menjadi penanda menguapnya gas metana ke atmosfer. Metana, yang dibutuhkan bumi agar tak beku, terperangkap di lapisan es berabad-abad. Ketika menguap ia akan mengurangi peran atmosfer menyerap panas dan emisi dari bumi dan matahari.

Akibatnya, panas memantul kembali ke bumi dan menaikkan suhu secara perlahan. Kenaikan suhu bumi akan mengubah siklus alam yang bertahan selama 4,5 miliar tahun terakhir.

Krisis iklim adalah pisau bermata dua. Penyebab dan akibatnya bisa saling bertaut. Menekan penyebab akan menaikkan akibat. Sebaliknya, mengurangi akibat akan menaikkan penyebabnya.

Perubahan-perubahan siklus bumi itu terjadi dalam 2-3 abad terakhir, setelah manusia menemukan mesin uap dan menemukan sumber energi fosil sebagai energi plus kian bertambahnya jumlah manusia sehingga membutuhkan lahan untuk permukiman, pangan, hingga pakaian.

Peradaban manusia memakan ongkos berupa pemanasan global yang mahal dan mengancam eksistensi kehidupan mahluk hidup. Salah satu cirinya ketika salju kutub Utara meleleh dan mencair.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Penggerak @Sustainableathome

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain