Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 06 Desember 2021

Partisipasi Publik Memperbaiki UU Cipta Kerja

Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemerintah dan DPR memperbaiki UU Cipta Kerja. Partisipasi publik seperti apa yang kita butuhkan?

Partisipasi publik dalam pembuatan UU Cipta Kerja (Foto: Microsoft)

DALAM putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang uji formil UU Cipta Kerja, ada uraian tentang partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang. Putusan MK tentang omnibus law ini menyatakan bahwa pembuatan UU Cipta Kerja melanggar konstitusi. Artinya, tak sesuai dengan tata cara pembuatan aturan yang baik dan benar.

Soal partisipasi publik, MK menguraikannya berikut ini:

Konstruksi Kayu

Pertama, pada paragraf 3.17.8, MK menyebut pentingnya kesempatan masyarakat berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sebagai amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai pilar utama bernegara, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Lebih jauh lagi, MK menyebut bahwa partisipasi masyarakat dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan pasal 27 ayat (1) dan pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. 

Apabila pembuatan undang-undang menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi publik turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya, bisa dikatakan proses pembuatannya melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty).

Kedua, MK menjelaskan bahwa secara doktriner, partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang bertujuan, antara lain, (i) menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat yang akan memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan, (ii) membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif dalam pengambilan keputusan; (iii) meningkatnya kepercayaan dan keyakinan warga negara terhadap lembaga legislatif; (iv) memperkuat legitimasi dan tanggung jawab bersama untuk setiap keputusan dan tindakan; (v) meningkatkan pemahaman tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara; (vi) memberikan kesempatan bagi warga negara untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka; dan (vii) menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan.

Selain mendasarkan pada legal formal, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation). Partisipasi publik yang bermakna apabila memenuhi tiga prasyarat: hak didengarkan pendapatnya, hak dipertimbangkan pendapatnya, dan hak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat tersebut. 

Ketiga, partisipasi publik terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung serta yang memiliki perhatian terhadap RUU yang sedang dibahas. Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-undang, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna harus dilakukan, paling tidak, dalam tahapan pengajuan RUU, pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, serta dalam persetujuan bersama antara DPR dan presiden.

Keempat, transparansi partisipasi publik, sebagaimana diatur pasal 96 UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundangan, menerangkan bahwa (i) masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, (ii) masyarakat adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi pancangan peraturan, (iii) untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap rancangan peraturan harus bisa diakses dengan mudah.

Kelima, dalam pertimbangan hukum paragraf [3.20.2] MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, karena ketiadaan partisipasi publik saat membuatnya. Namun, MK memberi kesempatan kepada pemerintah memperbaikinya dalam dua tahun ke depan. Jika tak ada perbaikan selama kurun itu, UU Cipta Kerja inkonstitusional permanen. 

Kathryn S. Quick dan John Bryson (2016) dalam Theories of public participation in governance menyebut elemen kunci dalam partisipasi publik adalah legitimasi. Menurut mereka, manfaat partisipasi sering kali tidak terwujud bahkan ketika proses berjalan dengan baik. Legitimasi itu berupa fitur partisipasi yang paling diperebutkan, biasanya dinyatakan dalam hal kecukupan partisipasi atau representasi, kemampuan teknis atau politik dari hasil keputusan dan kualitas prosedural. Ketika partisipasi publik tidak terlihat sah, ia mengasingkan publik dari pemerintah dan mengganggu implementasi keputusan.

Salah satu ukuran legitimasi dalam demokrasi deliberatif adalah kualitas pertukaran pendapat dalam partisipasi. Di sini, profil publik terlihat jelas, menggunakan argumen logis dan kriteria valid untuk mengevaluasi opsi dan hasil dalam pendapatnya. Kebijakan dan program pemerintah sah jika diterima dan memenuhi kebutuhan publik.

Lensa teoretis lain memahami legitimasi dalam partisipasi publik merumuskan kebijakan adalah dengan melihat kualitas prosesnya. Proses yang adil secara prosedural cenderung memberi hasil berkualitas. Keadilan prosedural mengacu pada apakah, atau sejauh mana, proses mewujudkan nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, transparansi, perhatian terhadap kepentingan pemangku kepentingan, dan keterbukaan terhadap masukan publik. Proses yang adil secara prosedural biasanya meningkatkan penerimaan keputusan.

Legitimasi proses pembuatan kebijakan juga terkait dengan kepercayaan. Kepercayaan bisa bermasalah dalam setiap proses yang melibatkan beragam kepentingan dan tingkat kekuasaan. Pemangku kepentingan lebih mungkin menerima keputusan yang dihasilkan dengan cara adil secara prosedural, bahkan ketika keputusannya tak mereka sukai secara individual.

Tantangan utama dalam partisipasi publik pembuatan kebijakan adalah memastikan berbagai kepentingan terlibat dalam prosesnya, termasuk yang biasanya dikeluarkan dari pengambilan keputusan akibat ketidakadilan yang dilembagakan.

Jebakannya adalah partisipasi berakhir dengan kehadiran mereka yang itu-itu saja, yaitu mereka yang pandai berbicara dalam bahasa dan logika pembuat keputusan. Partisipasi seperti itu tidak inklusif karena lebih berorientasi pada “konsultasi” dengan publik untuk mengumpulkan masukan atau sekadar membiarkan orang mengekspresikan perspektif yang berbeda.

Perbaikan UU Cipta Kerja mestinya dijalankan dengan partisipasi publik yang bermakna. Jika benar pemerintah dan DPR hendak memperbaikinya dalam dua tahun ke depan, mereka perlu argumentasi yang solid menjelaskan aturan-aturan yang ditolak secara luas oleh publik. Bagaimana pun ini kesempatan memperbaikinya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain