GUNUNG Semeru meletus pada 4 Desember 2021. Dari video amatir warga Lumajang, Jawa Timur, terlihat kepanikan masyarakat saat gunung ini menghamburkan abu vulkanik raksasa. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana hingga 5 Desember 2021, korban meninggal sebanyak 14 orang dan penduduk yang luka berat serta ringan 56 orang.
Penduduk di sekitar gunung Semeru tak merasakan ada gempa yang kuat sebelum gunung meletus. Gempa menjadi salah satu faktor pemicu sebuah gunung meletus. Pantauan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat tak ada gempa besar hingga awal Desember yang memicu letusan gunung.
Catatan Magma Indonesia, aplikasi pemantau gempa Badan Geologi, mencatat amplitudo maksimum 25 milimeter dengan durasi 5.160 detik. Pengakuan warga Lumajang juga tidak merasakan gempa sebelum Semeru meletus.
Menurut ahli vulkanologi Institut Teknologi Bandung, Mirzam Abdurrachman, letusan gunung Semeru kemungkinan besar bukan karena gempa. Ia menduga ada faktor lain yang membuat material dapur magma gunung Semeru menyembur.
Secara umum, kata Mirzam, ada tiga penyebab sebuah gunung meletus: volume dapur magma penuh, longsoran di dapur magma, dan aktivitas di atas dapur magma. Mirzam menduga faktor ekstrenal berupa aktivitas di atas dapur magma ini yang menjadi pemicu gunung Semeru meletus.
Faktor eksternal itu adalah hujan. Menurut catatan Weather.com, pada Jumat dan Sabtu pekan lalu terjadi kenaikan presipitasi, tingkat kejenuhan uap air di atas Semeru, yang mendorong terjadinya hujan. Badan Geologi Kementerian Energi juga mencatat curah hujan yang cukup tinggi sebelum gunung Semeru meletus.
Hujan ini yang membuat lapisan abu vulkanik yang menjadi tudung magma Mahameru di ketinggian 3.676 meter dari permukaan laut menjadi terkikis sehingga material di dalamnya menyembur. Kikisan air hujan juga membuat beban puncak gunung menjadi berkurang. Tudung magma ini adalah lapisan abu vulkanik yang berasal dari letusan Semeru sebelumnya pada Desember 2020.
Menurut Mirzam, dapur magma adalah ruang bawah tanah yang berisi batuan mencair yang berada di bawah permukaan kerak bumi. Karena penutupnya terkikis oleh air hujan, kata Mirzam, “Meski dapur magma sedikit, Semeru tetap bisa meletus.”
Meski begitu, faktor eksternal seharusnya tak menutup pada ketersediaan peringatan dini letusan gunung Semeru untuk menghindarkan korban sesedikit mungkin. Apalagi, para ahli termasuk Mirzam Abdurrachman mengatakan siklus letusan gunung Semeru 1-2 tahun.
Dalam laporannya kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin pada 5 Desember 2021, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan peringatan dini sudah berjalan. Tentang para korban, menurut Khofifah, terjadi karena masyarakat panik akibat dalam satu jam awan panas yang datang tiba-tiba membuat udara jadi gelap sehingga menghambat proses evakuasi. "Di situ ada yang meninggal," katanya seperti dikutip Republika.co.id.
Arah letusan gunung Semeru terprediksi melalui peta geologi. Secara umum arah letusan bergerak ke arah tenggara dan selatan karena terbawa angin, seperti letusan 2020. “Aliran laharnya pun sama karena semua sungai yang berhulu di puncak Semeru mengalir ke selatan dan tenggara,” kata Mirzam.
Secara visual, abu vulkanik gunung Semeru yang berwarna abu-abu menunjukkan semburannya berisi material berat. Dengan abu vulkanik cukup berat wajar terjadi penumpukan di sekitar area puncak hingga kaki Semeru. Foto rumah penduduk yang tertimbun oleh abu vulkanik beredar di lini masa media sosial salah satu dampaknya.
Secara umum, ada dua bahaya akibat letusan gunung, yakni bahaya primer dan bahaya sekunder, seperti yang terjadi saat dan setelah gunung Semeru meletus. Bahaya primer berkaitan dengan letusan gunung seperti aliran lava dan abu vulkanik, sementara bahaya sekunder setelah adalah banjir bandang atau lahar setelah gunung meletus. “Dua duanya sama berbahaya,” kata Mirzam.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :