Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 07 Desember 2021

Salinasi Tanah Dampak Utama Krisis Iklim

Hari Tanah 5 Desember. Menurut FAO 10% ketahanan pangan terancam akibat akibat salinasi tanah tersebab krisis iklim.

Salinasi tanah (Foto: Rainer/Pixabay)

SETIAP 5 Desember dunia memperingati hari tanah (world soil day). Pada hari itulah kita diingatkan betapa pentingnya tanah sebagai sumber kehidupan di Bumi. Tanah merupakan tempat kita menanam bahan pangan, penyerap emisi sekaligus alas kehidupan bumi.

Pada peringatan hari tanah tahun ini, Badan Pangan Dunia (FAO) menekankan salinasi tanah di bumi. Dampaknya membuat tanah tak sehat lagi, sehingga ketahanan pangan dan kehidupan terancam.

Konstruksi Kayu

Penyebabnya karena banyak negara yang tidak memiliki kapasitas melakukan analisis tanah yang baik. "Padahal tanah pondasi dari pertanian, petani bergantung pada tanah untuk memproduksi 95% pangan yang kita makan," kata Direktur Jenderal FAO QU Dongyu. "Saat ini tanah kita dalam ancaman."

Sebanyak 833 juta hektare tanah di dunia mengandung garam, seperti yang dirilis FAO pada Oktober lalu. Estimasinya lebih dari 10% lahan pertanian terkena dampak garam yang menimbulkan risiko besar bagi ketahanan pangan.

Beberapa wilayah yang terkena dampak salinasi terburuk di antaranya, Asia Tengah, Timur Tengah, Amerika Selatan, Afrika Utara dan Pasifik. Salah satu negara yang paling parah adalah Uzbekistan, lebih dari separuh tanah mereka mengandung garam berlebih, sehingga sulit bercocok tanam secara produktif.

Menurut Adyl Khujanov, petani dan pemilik lahan di desa Kyzylkesek, Uzbekistan setiap tahun semakin banyak orang meninggalkan Kyzylkesek. "Karena cuaca yang panas, suhu yang kering, dan kurangnya air," kata dia kepada FAO.

Salinasi adalah kondisi penumpukan garam di dalam tanah. Tanah yang mengandung banyak garam menghambat pertumbuhan tanaman karena membatasi kemampuan mereka menyerap air.

Salinasi dapat terjadi karena praktik pertanian yang tidak berkelanjutan juga faktor alami seperti perubahan iklim, kekeringan, kualitas air yang buruk. Selain faktor alami, deforestasi dan penggunaan pupuk kimia secara berlebihan juga bisa menyebabkan salinasi. 

Di Indonesia, setiap tahun luas lahan sawah yang ditinggalkan akibat penggaraman terus meningkat. Umumnya terjadi di lahan pertanian dekat pantai, karena kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim.

Dalam jurnal pertanian, diperkirakan lahan dekat pantai yang rentan mengalami salinitas seluas 12,020 juta ha atau 6,20% dari total daratan Indonesia. Problem salinitas pada pertanian beririgasi sering terkait dengan muka air tanah.

Menurut QU Dongyu mengurangi dan menghentikan salinasi perlu pendekatan terpadu, pengelolaan tanah dan irigiasi berkelanjutan serta pemilihan tanaman yang toleran garam.

Qu menekankan pentingnya investasi terus-menerus di laboratorium untuk menyediakan data yang andal untuk mengambil keputusan yang tepat. Sehingga memastikan pengelolaan tanah yang berkelanjutan. 

Selain salinasi tanah, FAO juga mengungkapkan isu kritis soal tanah, antara lain praktik tidak berkelanjutan sektor pertanian, eksploitasi besar-besaran kekayaan alam akibat populasi yang terus bertambah. Dampaknya terjadi degradasi tanah secara global.

Pada COP26 tanah yang sehat juga menjadi sorotan, sebab tanah mejadi faktor penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. FAO meminta negara-negara untuk meningkatkan informasi soal tanah dan meningkatkan kapasitas untuk pengelolaan tanah yang berkelanjutan.

Naiknya permukaan air laut adalah dampak paling nyata krisis iklim. Bumi yang menghangat akibat suhu permukaan naik membuat es mencair sehingga volume air laut bertambah yang menaikkan permukaannya.

Maka cara mencegah salinasi tanah yang membuat ketahanan panga terancam adalah menghentikan laju pemanasan global, dengan mengurangi emisi gas rumah kaca secara dratis. Pembangunan rendah karbon, mengganti energi kotor, mengurangi sampah, melindungi hutan, adalah cara-cara besar menghentikan krisis iklim.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Penggerak @Sustainableathome

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain