Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 08 Desember 2021

Kekeliruan Sawit Tanaman Hutan

Usul agar sawit menjadi tanaman hutan masih gencar. Tak sesuai dengan konsep hutan dan fungsinya menjaga iklim mikro.

Petani perkebunan kelapa sawit di Jambi (Foto: Istimewa)

USUL agar kelapa sawit menjadi tanaman hutan terus bergulir. Teguh Patriawan, Wakil Ketua Komite Tetap Pengembangan Perkebunan Kamar Dagang dan Industri, misalnya, punya tiga argumen mengapa sawit perlu masuk kategori tanaman hutan.

Dalam Info Sawit edisi 4 Desember 2021, Teguh menulis artikel berjudul “Anggapan yang Kerap Salah Tentang Kelapa Sawit” menyatakan bahwa “pohon kelapa sawit sepantasnya dapat direkomendasikan sebagai tanaman untuk keperluan reboisasi lahan-lahan terbuka yang tidak memiliki nilai konservasi, semak belukar dan hutan terlantar, seperti halnya tanaman karet”.

Setidaknya ada tiga alasan yang dipakai Teguh Patriawan meminta sawit menjadi tanaman kehutanan:

Pertama, luas areal pertanian Indonesia baru 30% atau 53,6 juta hektare dari luas daratan. Padahal jumlah penduduk Indonesia 270 juta jiwa. Artinya areal pertanian, termasuk perkebunan sawit, masih relatif kecil ketimbang luas total areal lahan yang tersedia. Australia memiliki lahan pertanian 53% dari luas total lahan daratan dengan penduduk kurang dari 22 juta jiwa. Lahan pertanian Brasil 31% dari total luas daratan dengan penduduk sekitar 193 juta jiwa.

Kedua, dari luas hutan Indonesia 130,68 juta hektare, tutupan hutan primer 41,3 juta hektare dan tutupan hutan sekunder 45,5 juta hektare. Sementara luas hutan tanaman 2,8 juta hektare dan tutupan non hutan seluas 41 juta hektare. Maka jika ada pengembangan pertanian dan perkebunan bisa menggunakan lahan tutupan non hutan.

Ketiga, Malaysia memperlakukan perkebunan tanaman keras sebagai kawasan hutan. Hal ini senada dengan definisi kawasan hutan dan beberapa LSM internasional antara lain Deforestation Watch yang menyebut bahwa “…menanam kelapa sawit adalah membangun hutan tanaman dalam bentuk yang berbeda.”

Masalahnya tidak sesederhana itu. Ada problem mendasar dalam hal budi daya hutan (silvikultur), regulasi, pemahaman data dan aspek lingkungan (ekologis, hidrologis, emisi karbon) jika sawit masuk dalam tanaman kehutanan.

Pertama, menurut “The State Of Indonesia’s Forest 2020”, luas hutan Indonesia 120,3 juta hektare, bukan 130,68 juta hektare. Kawasan non tutupan hutan yang dipersoalkan seluas 33,4 juta hektare (bukan 41 juta hektare) merupakan lahan-lahan terbuka, semak belukar dan tanah telantar bukan lahan menganggur yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan apa saja, karena masing-masing areal mempunyai fungsi kawasan masing-masing.

Meski kawasan hutan seluas 33,4 juta hektare tak lagi memiliki tutupan hutan (forest coverage), kawasan tersebut masuk dalam kawasan hutan konservasi 4,5 juta hektare, hutan lindung 5,6 juta hektare, hutan produksi terbatas 5,4 juta, hutan produksi biasa 11,4 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6,5 juta hektare.

Menurut regulasi bidang kehutanan, kegiatan budi daya kehutanan hanya diizinkan dalam kawasan hutan produksi seluas 16,8 juta hektare. Itu pun sebagian besar telah digunakan dan dicadangkan untuk kepentingan/penggunaan lain seperti perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare, pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan (pertambangan, infrastruktur).

Hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6,5 juta hektare dipersiapkan dan dicadangkan untuk kepentingan pembangunan non kehutanan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, transmigrasi, redistribusi lahan melalui program tanah objek reforma agraria (TORA), percetakan sawah baru. Jadi, luas kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan yang belum dikapling untuk pemanfaatan lain berkisar kurang dari 2 juta hektare. 

Kedua, secara silvikultur, bisnis utama hutan adalah kayu, bukan hasil hutan non kayu. Secara bisnis, kayu sawit tidak mempunyai nilai ekonomis. Dengan jarak tanam 9 x 9 meter, 1 hektare hanya ada 123 batang sawit. Jika tingginya 15 meter, kayunya hanya 25 meter kubik. Jika dibandingkan kayu dengan luas sama kayunya 40-50 meter kubik untuk hutan tanaman dan 100 meter kubik hutan alam. Bahkan dalam hutan tanaman industri jenis Acasia mangium dengan daur 8 tahun, mampu menghasilkan kayu bulat sebesar 165,89 meter kubik.

Ketiga, seandainya sawit bisa digolongkan tanaman hutan, aturan budi daya hutan harus tunduk pada pengaturan jarak tanaman dengan penjarangan dan pemangkasan cabang dan ranting pohon sawit untuk mendapatkan kayu yang berkualitas tinggi. Mungkinkah sawit mengikuti aturan silvikultur kehutanan?  Jelas tidak mungkin, karena pemangkasan dan penjarangan tanaman akan mempengaruhi produksi buah sawit.

Keempat, definisi hutan tidak sekadar lahan dalam luasan tertentu yang ditutupi tanaman, lebih dari itu harus mampu menciptakan iklim mikro. Definisi sawit sebagai tanaman hutan biasanya mengacu pada definisi hutan dari Badan Pangan Dunia. Pada 2010, FAO mendefinisikan hutan sebagai suatu hamparan lahan dengan luas lebih dari 0,5 hektare yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan tinggi lebih dari 5 meter dan dengan penutupan tajuk lebih dari 10% atau ditumbuhi oleh pohon-pohon yang secara alami (asli) tumbuh di tempat itu dengan tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 5 meter.

Sementara definisi hutan terbaru mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan yang digabungkan dengan definisi UNFCCC Indonesia untuk Mekanisme Pembangunan Bersih. Menurut definisi ini hutan adalah suatu areal lahan lebih dari 6,25 hektare dengan pohon lebih tinggi dari 5 meter pada waktu dewasa dan tutupan kanopi lebih dari 30%.

Apakah sawit masuk dalam kriteria dalam definisi ini? Dengan jarak tanam 9 x 9 meter, dalam satu hektare lahan akan berisi sebanyak 123 batang sawit. Iklim mikro apa yang bisa diciptakan dari habitat sekecil ini?

Kelima, dari aspek lingkungan, sawit dengan akar pendek tak mampu menyimpan air dalam jumlah banyak seperti pohon, apalagi setara dengan ekosistem rawa gambut. Fungsi hidrologis tanaman perkebunan juga buruk. Penelitian di Chile menyebutkan pohon monokultur tak baik sebagai pengendali iklim. Tanaman monokultur sedikit menyerap karbon karena mereka bersaing memperebutkannya, tidak saling berbagi seperti halnya hutan alam yang menyimpan keragaman hayati tinggi. 

Jadi menggolongkan sawit ke dalam tanaman hutan menimbulkan keraguan dan banyak pertanyaan. Apalagi sawit di kawasan hutan kini luasnya 3,2 juta hektare. Ini saja masalahnya pelik karena ilegal. Jika tujuan memasukkan sawit ke dalam kategori tanaman hutan untuk mengurangi luas deforestasi, juga tak selaras dengan usaha mengurangi dan menyerap karbon dalam mitigasi krisis iklim.

Dibanding meributkan sawit menjadi tanaman hutan, studi ilmiah sudah menjawab nilai hutan akan naik jika memadukan pelbagai tanaman dalam satu areal hutan. IPB, misalnya, menganjurkan multiusaha, UGM menyodorkan jangka benah untuk mengembalikan fungsi ekonomi dan ekologi sekaligus.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain