Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 13 Desember 2021

Masalah Struktural Perlindungan Lingkungan Hidup

Melindungi lingkungan tak semata soal kemauan para kepala daerah. Ada masalah struktural yang menjeratnya, yakni politik lingkungan hidup.

Labirin proses dalam pengambilan kebijakan publik (Foto: M. Wewering/Pixabay)

WINSTON Churchill, Perdana Menteri Inggris 1940-1945, selalu punya stok cerita kocak yang satir. Suatu hari ia naik taksi ke kantor BBC untuk sebuah wawancara. Ia meminta pengemudi menunggunya selama 40 menit sampai ia kembali. Pengemudi taksi itu meminta maaf. “Saya harus pulang untuk mendengarkan pidato Winston Churchill,” katanya.

Churchill kagum dan senang, tentu saja. Pengemudi taksi itu tak mengenali pria tambun yang jadi penumpangnya. Churchill mengambil 20 pound dari sakunya. Di masa resesi akibat perang, nilai uang itu lumayan besar. “Saya akan menunggu berjam-jam sampai Anda kembali Pak!” katanya. “Biarkan Churchill pergi ke neraka.”

Konstruksi Kayu

Berkomentar atas peristiwa itu, Churchill mengatakan bahwa “Anda bisa melihat bagaimana prinsip-prinsip dimodifikasi demi uang.” Pengemudi taksi itu rela tak pulang untuk mendengarkan apa yang penting dalam pidato perdana menteri negaranya karena senang mendapatkan tips. 

Cerita Churchill rasanya makin sering terdengar hari-hari ini. Berbagai keputusan besar gagal memberikan kemaslahatan masyarakat luas karena uang yang dikejar sekelompok orang tertentu. Argumen teknis, filosofis maupun hukum menjadi selimut untuk menutupi tujuan di balik keputusan-keputusan itu.

Tentu ini kesimpulan yang pesimistis. Tapi, agaknya, manajemen kekuasaan mengejar kekayaan menjadi fenomena umum. Seolah ada asumsi bahwa uang menjadi syarat mencapai apa saja, dengan paksaan atau mendapatkannya secara tak wajar.

Dalam tiga pekan terakhir saya bertemu dengan sejumlah kepala daerah. Mereka menjelaskan betapa keputusan dan kebijakan untuk kesejahteraan masyarakat mendapat halangan dan berbagai bentuk pola penekan, baik melalui otoritas pemerintah pusat maupun secara langsung lewat tawaran sejumlah besar uang suap.

Saya mendengarkannya antara terkejut dan tak terkejut. Rupanya, apa yang saya dapatkan dalam penelitian 20 tahun lalu tak berubah hingga kini.

Uhaib As’ad dalam Mining Exploitation Policy and Poverty of Local Communities di jurnal Political Sciences & Public Affairs (2017) menulis tentang lemahnya peran negara dalam pengelolaan sumber daya tambang. Menurut dia, puluhan tahun eksploitasi tambang di Kalimantan Selatan tak berbanding lurus dengan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya.

As'ad menemukan bahwa industri eksploitatif itu hanya memberi manfaat bagi segelintir orang, terutama otoritas lokal, penguasa, atau orang-orang dalam lingkaran penguasa lokal. Ekonomi hanya dinikmati orang-orang yang memiliki jaringan bisnis dengan pengusaha pertambangan, pasukan keamanan seperti tentara dan polisi, partai politik, dan kelompok kepentingan lainnya. Masyarakat, sementara itu, mendapat dampak kompleks, seperti kerusakan lingkungan, polusi, dan hilangnya sumber daya ekonomi, penghancuran nilai-nilai sosial dan kemiskinan.

Tentu tidak semua kepala daerah tunduk pada iklim politik seperti itu. Masyarakat umumnya juga sudah paham apa yang disebut pemimpin yang baik dengan ukuran hidup mereka sehari-hari.

Ada empat ukuran masyarakat menilai sebuah kepemimpinan: integritas, reputasi, cara komunikasi, dan tanggung jawab. Tolok ukur seperti ini tak sinkron dengan praktik politik uang, termasuk bagi kepala daerah. Jadi, ada semacam benturan antara kepentingan politik yang selalu mensyaratkan uang, dan keinginan masyarakat dari sebuah kepemimpinan politik.

Kita sering melihat seseorang pemimpin seperti tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau tidak tangkas dalam menjalankan keputusan yang diharapkan masyarakat. Barangkali benturan kepentingan ini yang menjadi penyebab utamanya.

Pola hubungan politik seperti itu tidak menguntungkan bagi upaya-upaya perlindungan lingkungan hidup yang pada umumnya menghendaki keputusan cepat dan pasti. Sebab, hukum alam tidak bisa ditunda. Ketika ada kerusakan ataupun pencemaran lingkungan, dampak negatifnya tidak bisa ditoleransi.

Belum lagi soal ekosistem politik dalam hal kewenangan. Di masa otonomi, pemerintah pusat memegang sepenuhnya izin industri ekstraktif. Pemerintah daerah dipaksa peduli karena dampak negatif industri semacam itu terjadi di wilayahnya.

Menurut saya, ini masalah struktural sistem pengelolaan sumber daya alam termasuk ekologi politik di baliknya. Jadi, ini bukan persoalan orang per orang termasuk bukan persoalan kecakapan sumber daya manusia mengelola lingkungan hidup.

Meski begitu, banyak pimpinan daerah yang tetap optimistis dengan program-program lingkungan hidup mereka kendati membentur hubungan politik dan kekuasaan yang tak mudah. Bahkan ada yang mengatakan dengan nada optimistis bahwa, di tengah ketidakpastian, “Lebih baik menyalakan lilin, walau redup, daripada mengutuk kegelapan”.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain