Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 16 Desember 2021

Tekanan pada Hutan Jawa

Jumlah penduduk kian menekan luas hutan Jawa. Kian rentan terkena dampak bencana iklim.

Lahan kritis akibat alih fungsi lahan menjadi tanaman semusim di kawasan hulu Sungai Citarum, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat (Foto: Rifky/Yayasan Rekam Nusantara)

LUAS hutan di pulau Jawa semakin mengecil. Saat ini luasnya hanya 24% dari luas pulau 129.600,71 kilometer persegi, menurut data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IX Jawa-Madura.

Ahli peneliti utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hendra Gunawan menambahkan dari 24% kawasan hutan hanya 19% yang memiliki tutupan hutan. Sisanya berupa hutan rakyat, kebun raya, taman keragaman hayati.

Konstruksi Kayu

Menyusutnya luas kawasan hutan pulau Jawa karena beberapa sebab, antara lain, alih fungsi hutan untuk lahan pertanian, permukiman, industri, infrastruktur, kawasan komersial. Cukupkah luas hutan itu menahan beban ekologis?

UU Cipta Kerja menghapus rasio tutupan hutan dengan luas pulau yang sebelumnya minimal 30%. Di Jawa, hutan lindung dan produksi dikelola Perum Perhutani, kecuali di Yogyakarta. Sedangkan hutan konservasi di bawah KLHK. Dengan begitu, Perhutani mengelola 76,83% hutan di Jawa.

Di Jawa, ada sekitar 6.807 desa yang jumlah penduduknya 30% dari total penghuni pulau ini. Sebanyak 60% penduduk sekitar hutan Jawa tergantung pada pertanian, tergolong miskin, rata-rata kepemilikan lahan <0,50 hektare per keluarga. Artinya, mereka tergolong petani gurem.

Dari aspek biofisik, dengan hutan konservasi dan lindung hanya 811.259 hektare atau 6,25% dari luas pulau Jawa, sangat tidak memadai. Apalagi, tak semua kawasan lindung mempunyai tutupan hutan (forest coverage) yang masih utuh.

Dengan kepadatan penduduk 1.317 jiwa per kilometer persegi, pulau ini juga menjadi salah satu pulau di dunia yang paling padat penduduk. Nilai CCR (carrying capacity ratio) untuk pangan ternyata kurang dari 1, yang artinya pulau Jawa sulit menaikkan produktivitas pangan.

Daerah aliran sungai di Jawa juga kian memprihatinkan. DAS utama seperti Solo, Brantas, Citanduy, dan Citarum kian menyempit akibat terdesak permukiman dan invasi sampah aktivitas manusia. 

Jika DAS menyempit dan kian kehilangan fungsinya, ia tak akan lagi mampu menopang kebutuhan manusia. Padahal, daerah aliran sungai amat penting menjadi penyangga hidup mahluk hidup di sekelilingnya.

Keberlangsungan DAS amat ditopang oleh kawasan lindung. Apakah cukup dengan luas hanya 6,25% dari luas wilayah pulau ini?

Tentu saja kurang. Hanya saja kita tak tahu apakah kawasan lindung ini akan diperluas dan ditambah. Daya dukung lingkungan ini penting, apalagi pemerintah ingin menggenjot investasi yang akan menghasilkan polusi dan lahan yang luas.

Jika daya dukung lingkungan dari kawasan lindung kian menyusut, pulau ini tak akan seimbang antara menyerap dan mengeluarkan polusi.

Dengan luas kawasan lindung yang hanya 6,25%, sudah seharusnya luas ini ditingkatkan terutama tutupan hutannya. Rehabilitasi dan reforestasi di pada daerah hulu DAS menjadi krusial, khususnya hutan produksi atau areal penggunaan lain (APL) non kawasan hutan.

Tanpa menyeimbangkan daya dukung lingkungan, dengan menambah luas hutan pulau Jawa, penduduk yang tinggal di atasnya akan kian rentan terancam oleh bencana iklim.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain