Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 17 Desember 2021

Korupsi Sumber Daya Alam: Bagaimana Memberantasnya?

Korupsi sumber daya alam jadi momok pembangunan Indonesia setelah Reformasi. Dari mana mencegahnya?

Korupsi sumber daya alam (Ilustrasi: Arupinum/Pixabay)

INDONESIA setelah Reformasi, Indonesia di era demokrasi, disibukkan oleh kian meluaskan korupsi, terutama korupsi sumber daya alam. Korupsi kini bahkan memakai legitimasi melalui aturan sehingga korupsi menjadi legal (state capture corruption) dan sulit diberantas.

Penelitian Auriga Nusantara, yayasan yang berfokus memantau manajemen sumber daya alam, menemukan bahwa korupsi sumber daya alam terkait erat dengan korupsi politik. Temuan Auriga bukan hal baru. Di mana pun korupsi selalu terkait dengan kebijakan. Sementara kebijakan terkait dengan kepentingan politik.

Konstruksi Kayu

Timer Manurung, Direktur Eksekutif Auriga Nusantara, menerangkan bahwa korupsi sumber daya alam terkait dengan pemberian izin usaha berbasis lahan, seperti pertambangan, perkebunan, perkayuan, pertanian. Izin-izin usaha tersebut biasanya acap terbit di sekitar—sebelum atau sesudah—pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

Otonomi daerah sejak 2001 mendelegasikan kewenangan kepala daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam melalui izin lokasi (kabupaten) dan izin prinsip (gubernur) yang menjadi syarat pelepasan kawasan hutan untuk bisnis.

Para politisi daerah mendagangkan kewenangan ini untuk mendapatkan pembiayaan politik dalam kampanye bahkan dalam pembiayaan program yang ia janjikan. Pembelinya adalah para pengusaha yang berkepentingan mendapatkan izin tersebut untuk membuka bisnis atau meluaskan bisnisnya.

Ward Berenschot, antropolog politik dari Amsterdam University Belanda penulis buku Democracy for Sale (2019), juga menemukan hal serupa dalam penelitiannya di Indonesia. Ia berkeliling ke banyak daerah untuk melihat sistem politik lokal bekerja dan menghubungkannya dengan tingkat kebakaran hutan, deforestasi, atau izin-izin industri ekstraktif di sebuah daerah.

Barencshot memakai kata “jebakan informalitas” dan “klientelisme” untuk menyebut praktik dagang kekuasaan dengan bisnis ini. Ia tak memakai kata “underground” atau politik-ekonomi “bawah tanah” untuk menyebut praktik ilegal karena kata ini mengandung makna “pemberontakan” yang lebih cocok untuk gerakan perlawanan.

Dalam informalitas, kesepakatan politik dan bisnis terjadi di luar aturan tapi berada dalam kewenangan pemain politik secara personal. Hubungan informal para cukong dengan politikus membuat mereka leluasa memakai kekuasaan akibat kedekatan personal. Indonesia setelah Reformasi, kata Ward, terpuruk dalam “jebakan informalitas” itu.

Timer Manurung menambahkan bahwa sistem politik Indonesia mendukung transaksi korupsi politik semacam itu. Tanpa transparansi pemakaian anggaran negara, janji-janji para politikus membutuhkan biaya besar yang didagangkan kepada pemilik modal untuk ditukar dengan pelbagai izin mengelola sumber daya alam. “Biaya politik kita sangat mahal,” kata Timer dalam webinar “Transparansi dan Anti Korupsi dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia”, 16 Desember 2021. 

Indonesia tahu masalah korupsi sumber daya alam berpangkal dari korupsi politik. Sudah banyak penelitian yang menemukan dan ahli menyuarakannya. Masalahnya, kata guru besar kebijakan kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo, potensi itu dipelihara karena ada hubungan mutualisme antara politik dan bisnis. 

Padahal, memelihara potensi korupsi ini akan menggerus kepercayaan masyarakat yang membunuh modal sosial. “Jika kepercayaan publik hilang, akan mengurangi legitimasi dan otoritas negara maupun swasta dalam hal kepatuhan,” ujarnya. Kepercayaan publik adalah modal sosial menerapkan kebijakan politik. “Masalahnya, adakah pemimpin politik yang memiliki kesadaran seperti ini?”

Rimawan Pradiptyo, peneliti senior UGM, menambahkan bahwa modal sosial penting dalam pembangunan dan menumbuhkan ekonomi negara. Ia mencontohkan aksi kolektif masyarakat membantu mencegah penularan Covid-19.

Tanpa kesadaran aksi kolektif masyarakat, penanganan pandemi akan amburadul karena kebijakan pembatasan sosial membutuhkan kepatuhan. Jika publik tak lagi percaya kepada kebijakan, yang muncul adalah pembangkangan sosial. “Karena itu pemerintah harus mendekati publik untuk bekerja sama,” kata dia. “Pendekatan itu bisa mengurangi korupsi.”

Hariadi menyodorkan satu formula mencegah korupsi sumber daya alam. Ia mengajukan lima langkah (1) mengurangi konflik kepentingan, (2) menyediakan auditor internal tersertifikasi (CIA) sebelum kebijakan diberlakukan, (3) menggeser regulasi dari berbasis prosedur ke hasil (4) pencegahan monopoli, serta (5) tata kelola keuangan partai politik.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain