INDONESIA seperti terjebak dalam ekonomi ekstraktif untuk mendapatkan pendapatan negara dan jadi modal pembangunan. Strategi warisan pemerintah kolonial Belanda ini membuat lingkungan jadi rusak dan memicu konflik tenurial yang mengorbankan masyarakat adat dan komunitas lokal.
Hasil ekonomi ekstraktif adalah krisis iklim. Ekonomi ekstraktif adalah jenis pembangunan ekonomi dengan jalan mengeruk sumber daya alam: tambang, lahan, kayu, laut. Di Indonesia, skemanya lebih mencemaskan karena eksploitasi itu didelegasikan kepada industri.
Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan UU Penanaman Modal dalam Negeri sejak akhir 1960 mendorong eksploitasi sumber daya alam itu menciptakan hubungan mutualisme antara bisnis dan kekuasaan. Akibatnya, masyarakat lokal di sebuah wilayah yang tereksploitasi menjadi tersisih dan kehilangan ruang hidup.
Rimawan Pradityo, peneliti ekonomi Universitas Gadjah Madha (UGM) Yogyakarta, mengatakan bahwa dampak ketergantungan pada eksploitasi sumber daya alam membuat Indonesia tertinggal dari negara lain yang tak memiliki sumber daya alam. Mereka cenderung mengandalkan inovasi dan teknologi mengolah sumber daya yang terbatas.
Menurut Rimawan, dalam webinar “Transparansi dan Anti Korupsi dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia”, 16 Desember 2021, negara-negara yang memiliki sumber daya alam melimpah cenderung terlena karena dimanjakan oleh bahan baku yang tersedia.
Akibat lain: konflik agraria tak terhindarkan. Konflik ini selalu timpang karena ada perbedaan hukum yang dipakai oleh negara dalam menengahi konflik tersebut.
Dalam mengatur eksploitasi sumber daya alam, kata Rimawan, pemerintah kolonial Belanda memakai dua hukum: konvensional untuk penduduk Belanda dan hukum adat bagi pribumi. Ketika terjadi konflik antara dua bangsa ini, pemerintah memakai hukum konvensional.
Akibatnya ketidakadilan. Secara hukum adat masyarakat tidak bersalah ketika mengelola ruang hidup mereka. Tetapi ketika memakai hukum konvensional, mereka melanggar aturan karena hukum positif negara memerlukan bukti berupa dokumen yang tak biasa dipakai dalam hukum adat yang hanya mengenal batas tanah dan warisan.
Pandemi Covid-19, kata Rimawan, memberikan peluang kepada Indonesia keluar dari sistem ekonomi ekstraktif ini. Menurut dia, tekanan global seperti pandemi bisa melahirkan hal baru yang dapat mengubah kondisi lingkungan tiap negara. “Perang Dunia II melahirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan IMF,” terangnya. “Pandemi seharusnya juga melahirkan hal baru.”
Hal baru itu adalah ekonomi hijau dan biru. Dalam sistem ekonomi baru, kata Rimawan, biaya eksternalitas berupa kerusakan lingkungan akan diperhitungkan setara dengan dampak ekonomi. “Ini momentum yang bisa memutus mata rantai ekonomi ekstraktif menuju ke struktur ekonomi alternatif yang lebih mendukung ke arah pembangunan berkelanjutan” tambahnya.
Pembangunan menekankan pada tiga jangkar yang sama penting: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dengan kata lain, untuk menumbuhkan ekonomi, pembangunan tak bisa mengabaikan konflik sosial dan kerusakan lingkungan sebagai eksesnya. Pembangunan berkelanjutan harus menimbang ketiga kaki ini seimbang.
Rimawan melihat Indonesia punya kesempatan mendorong konsep ini pada pertemuan G20 tahun depan. Menurut dia, pertaruhannya ada pada kemauan politik pemerintah menghadirkan pembangunan yang berkualitas, yakni adil bagi seluruh masyarakat dan berkelanjutan secara lingkungan.
Dengan begitu, Presiden Joko Widodo mesti merevisi paradigmanya dalam pembangunan yang hanya mengedepankan ekonomi. Saat terpilih lagi dalam periode kedua, ia menegaskan tak akan memprioritaskan perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan—dua hal paling penting di era demokrasi.
Majalah Nature dalam edisi tokoh, mengangkat Victoria Tauli-Corpuz—pemimpin masyarakat adat Filipina—karena membawa isu perlindungan masyarakat adat ke tingkat internasional. Menurut dia, melindungi masyarakat adat sama dengan melindungi keragaman hayati karena mereka terbukti lebih arif dalam mengelola alam.
Seperti kata Arundhati Roi, penulis India, penjaga bumi bukan mereka yang ada di gedung-gedung tinggi, melainkan mereka yang setiap hari terancam oleh industrialisasi untuk mempertahankan ruang hidup dan lingkungan. Dengan kata lain, ekonomi ekstraktif tak cocok di era krisis iklim.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :