SALAH satu dampak nyata krisis iklim adalah naiknya muka air laut. Kenaikan volume air laut ini jelas mengancam negara-negara kepulauan seperti Indonesia yang kota-kota utamanya dibangun di daerah pesisir.
Kenaikan muka air laut itu terjadi karena lapisan es di kutub bumi mencair akibat naiknya suhu permukaan laut akibat pemanasan global. Pemanasan global terjadi akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Gas rumah kaca adalah pelepasan emisi karbon akibat aktivitas manusia karena penyerap alamiahnya kian menghilang.
Penyerap alamiah emisi karbon adalah hutan, laut, tanah. Laut menyerap sekitar 24% emisi karbon global. Namun kerusakan laut akibat eksploitasi besar-besaran yang membunuh keragaman hayatinya membuat laut kehilangan daya menyerap emisi karbon dan gas rumah kaca. Akibatnya suhu permukaan laut pelan-pelan naik.
Pekan lalu pertemuan ilmuwan es di New Orleans, Amerika Serikat, memperingkatkan bahwa lapisan es terbesar di kutub Selatan retak dan mencair akibat menghangatnya suhu bumi. Duapuluh tahun lalu, peneliti memperkirakan area es di benua Antartika ini memiliki berat 500 miliar ton. Saat ini lapisan es itu menghilang dan airnya mengalir ke Lautan Weddell di barat Antartika.
Pencairan es di Antartika, kata para ilmuwan, karena cekungan es di semenanjung menganga akibat retakan cukup besar di atas atau di bawah gletser Thwaites.
Gletser Thwaites merupakan salah satu gletser yang terbesar di dunia. Terletak di sebelah barat Antartika, gletser ini dijuluki “doomsday gletser” atau gletser kiamat. Penamaan itu untuk menunjukkan bahwa lapisan es seluas dua kali pulau Jawa ini ukuran paling sederhana menunjukkan kerusakan masif di bumi.
Ahli glasiologi dan koordinator utama AS dalam International Thwaites Glecier Collaboration (ITGC), Ted Scambors, mengatakan gletser ini sedang dalam bahaya mengalami keruntuhan. “Kondisi ini hanya bisa bertahan beberapa tahun lagi mengingat air laut yang memanas, sehingga mencairkan gletser dari bawahnya,” katanya dikutip dari Miror, 18 Desember 2021.
Menurut Ted, jika gletser ini runtuh dan mencair, membuat 50 miliar ton es akan menghilang. Akibatnya, volume air laut bertambah sehingga menaikkan tinggi muka airnya menjadi 65 sentimeter.
Penambahan muka air laut merupakan bencana pesisir. Wilayah-wilayah permukiman yang 0 meter dari permukaan laut akan tenggelam akibat rob.
Dalam studi-studi sebelumnya, para ahli memperkirakan untuk mencairkan es sebesar gletser Thwaites, perlu berabad-abad pemanasan global. Mereka terkejut ternyata kenaikan suhu 1,10 Celsius dalam 70 tahun terakhir telah membuat es Antartika meleleh.
Sebetulnya ada banyak gletser di Antartika selain Thwaites yang mencair. Namun gletser ini memiliki peran sangat penting sebagai “tembok penghalang” untuk menahan air es di gletser lain mencapai lautan. Para ilmuwan menyimpulkan jika gletser Thwaites menghilang, tidak ada kota pesisir yang selamat dari ancaman naiknya muka air laut yang akan merusak kehidupan masyarakat di atasnya.
Pencairan es yang berada di bagian selatan bumi selalu dianggap lebih berbahaya ketimbang pencairan es di utara. Sebab, lapisan es di kutub utara mengapung di atas permukaan laut. Di selatan, lapisan es berada di daratan.
Dalam sistem iklim, permukaan tanah selalu lebih hangat ketimbang laut karena memiliki kapasitas panas yang lebih kecil. Artinya, untuk mencairkan es di Antartika hanya membutuhkan pemanasan yang kecil.
Tahun lalu, suhu permukaan tanah naik 1,430 Celsius dibanding periode 1901 sementara suhu laut naik 0,77C. Jika kenaikan suhu bumi naik terus, es di Antartika akan cepat meleleh dan mencair di samudera selatan.
Negara-negara yang berada di selatan khatulistiwa akan merasakan dampak pertama dari kenaikan muka air laut ini. Sementara negara-negara selatan umumnya negara berkembang. Dalam konsep keadilan iklim, pemanasan global menciptakan ketimpangan karena negara berpenghasilan rendah tak memproduksi emisi karbon sebanyak negara maju di utara.
Mencairnya gletser terbesar di kutub selatan juga menampar para politisi dan pemimpin dunia. Sebab, gletser kiamat ini mencair sebulan setelah Konferensi Iklim COP26 di Glasgow yang hendak menurunkan separuh emisi global pada 2030.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :