Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 23 Desember 2021

Jejak Karbon Manusia: Benarkah Penyebab Krisis Iklim

Jejak karbon individu sukses digaungkan perusahaan minyak sebagai penyebab krisis iklim. Skala industri jauh lebih masif.

Jejak karbon (Ilustrasi: Alexandra Koch/Pixabay)

ISTILAH jejak karbon kian populer di era krisis iklim. Jejak karbon atau carbon footprint semula mengacu kepada istilah “jejak ekologi” yang dicetuskan William Rees, ahli ekologi Kanada, dan perencana wilayah Universitas of British Columbia, Mathis Wackernagel pada 1990-an.

Jejak ekologi adalah luas lahan yang terpakai untuk menopang aktivitas sebuah populasi. Jejak tersebut meliputi dampak lingkungan seperti penggunaan air, jumlah produksi pangan, dan kebutuhan sosial manusia lainnya. Satuan jejak ekologi adalah berat yang mengacu pada CO2 per tahun karena pembukaan lahan melepaskan karbon dioksida yang terserap oleh tanah, air, atau tumbuhan.

Konstruksi Kayu

Konsep yang netral ini lalu diadopsi British Petroleum pada 2005. Perusahaan minyak dan gas terbesar kedua di dunia ini meminta perusahaan periklanan untuk mengkreasi sebuah kampanye menyadarkan dunia pada krisis iklim. Jejak ekologi pun berubah nama menjadi jejak karbon.

Teknik pemasaran ini berhasil hingga kini tiap-tiap orang merasa punya dosa lingkungan karena konsumsi, gaya hidup, dan aktivitas sehari-hari yang menghasilkan karbon. Bagaimana dengan BP? Mereka bahkan terus berekspansi meluaskan produksi energi fosil yang menjadi penyebab utama krisis iklim. Tahun lalu perusahaan migas Inggris ini menyedot 1,99 juta barel minyak sehari.

Pada dasarnya, jejak karbon mengacu pada tujuh jenis gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Selain CO2, ada metana (CH4), nitrat oksida (N2O) dan tiga gas F yang tak diproduksi secara alamiah (HFCs, PFCs, SF6). Selain CO2, gas-gas lain diproduksi paling banyak oleh pembangkit listrik energi fosil, industri, pertanian dan peternakan skala masif, transportasi, dan proses-proses produksi mesin lainnya.

Di atmosfer, CO2 paling banyak jumlahnya. Menurut IPCC, separuh gas ini menghilang dalam waktu 30 tahun, 30% dalam satu abad, dan sisanya bertahan ratusan tahun. Metana paling pendek siklusnya, hanya 12 tahun. Sementara empat gas rumah kaca lain mengendap di lapisan bumi lebih dari 100 tahun bahkan 50.000 tahun yang membuat atmosfer kehilangan kekuatan alamiahnya menyerap emisi normal dari bumi dan panas matahari. Akibatnya, panas dari bumi kembali memantul ke planet ini menaikkan suhu secara perlahan-lahan.

Dalam siklus bumi, gas rumah kaca alamiah itu diperlukan sebagai penopang kehidupan. Metana, misalnya, diperlukan bumi untuk menjaga kehangatan sehingga planet ini tak menjadi beku. Krisis iklim terjadi karena jumlah gas rumah kaca berlebihan di atmosfer akibat pemakaian energi fosil untuk menopang kemajuan. 

Selama 10.000 tahun, gas rumah kaca di atmosfer stabil 280 part per million. Dalam tiga abad terakhir jumlahnya naik menjadi 418 ppm. Para ahli menghitung bumi akan mencapai puncak krisis iklim jika konsentrasi gas rumah melebihi 515 ppm. 

Karena itu proses produksi acap tak jadi perhitungan jejak karbon. Jejak karbon mengacu pada konsumsi tiap individu sehingga bisa diukur emisi karbon per kapita per tahun. Saat ini, jejak karbon tiap orang rata-rata 4,79 ton setara CO2 per tahun. Artinya, jejak karbon global penduduk bumi sebanyak 37,4 miliar ton setara CO2.

Perhitungan ini jelas tidak adil karena membebankan pada aktivitas individu dengan melihat produk akhirnya dan konsumsi tiap orang tergantung tempat tinggalnya. Penduduk Kanada atau Arab Saudi dan Amerika Serikat memproduksi emisi karbon paling besar di dunia. Produksi karbon per kapita Indonesia 2,03 ton per tahun, sementara orang Kanada 18,58 ton dan Uni Emirat Arab 23,37 ton

Sejauh ini produksi barang oleh industri, yang melahirkan keuntungan, tak dihitung sebagai jejak karbon. Konsep jejak karbon berhasil memanipulasi pandangan awam untuk menyalahkan tiap individu memiliki dosa lingkungan.

Kini perhitungan-perhitungan emisi karbon agak lebih adil. Lembaga-lembaga riset merujuk pada sektor penghasil emisi terbanyak. Energi, misalnya, menghasilkan 80% emisi karbon dari total emisi gas rumah kaca sekarang sebanyak 52 miliar ton setara CO2. Jika kita ingin mencegah bumi memasuki puncak krisis iklim yang ditandai dengan kenaikan suhu bumi 1,5C, emisi global itu harus dipangkas setengahnya atau lebih.

Caranya dengan mengubah teknologi dan beralih ke energi terbarukan. Meskipun masih memproduksi karbon, energi terbarukan jauh lebih rendah dibandingkan energi fosil. Energi terbarukan merujuk pada sumber energi yang tak habis jika dimanfaatkan seperti minyak, gas, atau batu bara.

Para ahli menganjurkan tiap individu diet energi untuk mencegah emisi karbon. Tapi para aktivis iklim seperti Greta Thunberg berpikir sebaliknya: krisis iklim hanya bisa dihentikan melalui kebijakan politik. Sebab kebijakan politik yang bisa memaksa produsen emisi terbesar patuh mengurangi produksi emisinya dengan mengubah teknologi. Individu sebagai konsumen akan mengikuti ketersediaan produk.

Meski bisa juga menuntut produk ramah lingkungan dengan menaikkan permintaan hanya pada produk yang rendah karbon, dorongan konsumen tak akan berarti banyak jika kebijakan politik masih mendorong bisnis kotor. Artinya, kampanye jejak karbon seharusnya tidak menyasar individu, melainkan bertumpu pada kebijakan negara.

Toh, agar keduanya berjalan simultan, individu dan korporasi mesti sama-sama mengurangi jejak karbon mereka sehingga bumi tak bertambah rusak karena krisis iklim yang terjadi sekarang diakibatkan sepenuhnya oleh aktivitas manusia. Individu dengan mempraktikkan hidup bersih dan sehat ramah lingkungan, korporasi berinvestasi dalam teknologi yang tak ekstraktif.

Seth Wynes dan Kimberly A. Nicholas menghitung diet karbon individu yang bisa bermanfaat dalam mitigasi krisis iklim. Perhitungan yang dimuat di jurnal Environmental Research Letters pada Juli 2017 itu menganjurkan gaya hidup yang signifikan mengurangi jejak karbon adalah mengurangi anak, tak memakai mobil, menghindari perjalanan memakai pesawat, dan menjadi vegan. 

Saran ini tentu berdasarkan data penduduk di negara maju. Keluarga yang mengurangi satu anak akan menghemat 58,6 ton karbon setara CO2 setahun. Hidup bebas mobil menghindarkan pelepasan karbon 2,4 ton, tak memakai pesawat 1,6 ton, dan menjadi vegan menghemat emisi karbon 0,8 ton.

Dua peneliti dari Lund University, Swedia, itu membandingkannya dengan gaya hidup ramah lingkungan lain. Menurut mereka, empat gaya hidup itu empat kali lebih hemat karbon dibanding rutin mendaur ulang sampah dan delapan kali dibanding mengganti lampu yang hemat energi, meskipun cara-cara baik ini tetap menghemat karbon.

Maka ketimbang termakan iklan perusahaan minyak, yang lebih arif seharusnya mengurangi jejak karbon dari sumbernya: investasi dan industri. Jika naik pesawat menghasilkan jejak karbon tinggi karena avtur berasal dari energi fosil, cara menguranginya bukan dengan melarang orang bepergian, tapi memaksa penyedia avtur dan industri penerbangan menyediakan pesawat yang memakai energi terbarukan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain