Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 24 Desember 2021

Masalah Mendasar HGU Telantar

Pemerintah mengandalkan HGU telantar untuk TORA, tanah objek reforma agraria. HGU tak telantar sama bermasalahnya.

Semak belukar di tanah telantar (Foto: Hansbenn/Pixabay)

DALAM Kongres Umat Islam II Majelis Ulama Indonesia pada 10 Desember 2021, ada saling balas kritik dan jawaban soal ketimpangan penguasaan lahan. Wakil Ketua MUI Anwar Abas menunjukkan data bahwa indeks Gini penguasaan lahan Indonesia sebesar 0,59. Artinya, 1% penduduk Indonesia menguasai 59% lahan. Sebaliknya, 99% penduduk lain berebut luas lahan lebih kecil, yakni 41%.

Setelah Anwar Abas, Presiden Joko Widodo naik podium dan mengabaikan materi pidato yang disiapkan protokoler. Ia langsung menjawab pernyataan Anwar Abas dengan mengatakan bahwa di eranya, lahan dibagikan kepada masyarakat melalui program reforma agraria dengan target seluas 4 juta hektare. “Hak guna usaha (HGU) yang ditelantarkan akan saya cabut satu per satu,” kata Jokowi.

Pernyataan keduanya menarik. Sebab, problem dalam reforma agraria memang ada dalam penguasaan lahan dan menjadi sejarah panjang Indonesia dalam distribusi ekonomi berbasis lahan.

Regulasi HGU mengacu pada UU Nomor 5/1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Aturan terbaru kini mengacu pada Peraturan Pemerintah 18/2021 tentang hak pengelolaan, hak atas tanah, satuan rumah susun dan pendaftaran tanah.

Hak guna usaha atau HGU adalah hak mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara, dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu tertentu itu paling lama 25 hingga 35 tahun untuk tujuan tertentu. HGU bisa jadi jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. HGU terlepas jika, salah satunya, ditelantarkan.

Salah satu metode mendapatkan HGU adalah permohonan pelepasan kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan produksi konversi tidak diberikan sekaligus. Untuk perkebunan maksimal 60.000 hektare per grup usaha, dengan pemberian bertahap mulai 20.000 hektare. Untuk perkebunan tebu maksimal 100.000 hektare yang diberikan bertahap maksimal 25.000. Tiap pelepasan tahap berikutnya ada evaluasi oleh Dinas Kehutanan Provinsi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat sejak 1985 hingga 2017 luas pelepasan kawasan hutan menjadi HGU mencapai 6.738.311 hektare. Perinciannya, di masa Soeharto 3.448.053 hektare, B.J Habibie 678.373 hektare, era Abdurrahman Wahid 163.566 hektare, Megawati Soekarnoputri 0 hektare, Susilo Bambang Yudhoyono 2.212.335 hektare, dan Joko Widodo 305.984 hektare. Pelepasan kawasan hutan ini mungkin bertambah karena pemerintah masih mempunyai stok hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 12,9 juta hektare.

Masalahnya, sejak Reformasi 1998, banyak perkebunan kelapa sawit (korporasi maupun perorangan) mengubah hutan secara ilegal. Artinya tanpa pelepasan kawasan hutan yang sah. Ironisnya perkebunan sawit korporasi di kawasan hutan memiliki HGU.

Dalam wawancara dengan Tempo, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil mengakui banyak stafnya yang terlibat dalam rusuh pemberian hak mengelola lahan ini. Ada 125 orang yang ia pecat bahkan masuk ranah pidana.

Niat Presiden Jokowi mencabut HGU telantar mestinya ditindaklanjuti oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang agar lahannya kembali bermanfaat, memberikan nilai lebih, atau dihutankan kembali untuk memenuhi kecukupan tutupan hutan di wilayahnya untuk menahan pelbagai bencana hidrometeorologi.

Menurut Menteri Sofyan Djalil, HGU telantar atau telah habis masa sewanya selama 90 tahun akan diambil alih negara lalu didistribusikan kepada masyarakat melalui program tanah objek reforma agraria (TORA). Pemerintah hendak mendistribusikan 4,5 juta hektare TORA kepada masyarakat. 

HGU telantar, kata Sofyan, adalah lahan yang dibiarkan menjadi semak belukar. Menurut dia, ada banyak orang mendaftarkan mendapatkan HGU hanya untuk jaminan ke bank untuk memperoleh kredit. “Kami bisa ambil sebagai tanah telantar,” kata dia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain