Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 30 Desember 2021

Pengukuhan Kawasan Hutan Rampung. Apa Konsekuensinya?

Pengukuhan kawasan hutan selesai. Belum menyelesaikan konflik tenurial.

Ekosistem hutan dataran rendah di Jambi (Foto: Asep Ayat/FD)

KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru saja merampungkan pengukuhan kawasan hutan. Hingga akhir 2021 kawasan hutan yang telah dikukuhkan seluas total 90 juta hektare, naik sekitar 800.000 hektare dibanding luas pengukuhan kawasan hutan 2020. Luas pengukuhan kawasan hutan ini akumulasi sejak 2015 melalui 2.157 surat keputusan.

UU Cipta Kerja mengamanatkan pengukuhan kawasan hutan harus rampung dalam dua tahun sejak omnibus law ini dterbit pada 5 November 2020. KLHK menargetkan hingga 2023 seluruh kawasan hutan seluas 125,7 juta hektare (SOFO menyebut 120,3 juta hektare) rampung mendapatkan pengukuhan. Apa itu pengukuhan kawasan hutan? Anda bisa membacanya di sini.

Direktur Jenderal Palnologi Kehutanan dan Tata Ruang KLHK. Ruandha Agung Sugardiman mengklaim penetapan kawasan hutan meningkat setiap tahun. Berbeda dengan data sebelumnya, sepanjang 2021, kata dia, KLHK telah menetapkan sekitar 2 juta hektare kawasan hutan. 

Menurut Ruandha, KLHK memiliki sejumlah terobosan mempercepat pengukuhan kawasan hutan. Antara lain melalui penyederhanaan kawasan hutan atau menghapus hutan produksi terbatas dan memanfaatkan koordinat geografis atau pengindraan jauh. Selain itu, pengukuhan memprioritaskan daerah strategis dan menata setiap batas. 

Pengukuhan kawasan hutan bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas, dan luas kawasan hutan. UU 41/1999 pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Proses penunjukan dan atau penetapan kawasan hutan oleh pemerintah sebagai legalitas hutan negara secara hukum butuh proses dan waktu yang panjang. Proses tersebut melalui tahapan inventarisasi dan pengukuhan hutan. Inventarisasi hutan melalui survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. 

Inventarisasi hutan dilakukan secara bertingkat: a) inventarisasi hutan tingkat nasional; b) inventarisasi hutan tingkat wilayah;  c) inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai; dan  d) inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan. Hasil inventarisasi hutan ini menjadi dasar pengukuhan kawasan hutan.

Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses: a) penunjukan kawasan hutan;  b) penataan batas kawasan hutan;  c) pemetaan kawasan hutan; dan  d) penetapan kawasan hutan.

Pengukuhan kawasan hutan yang butuh waktu lama biasanya penataan batas kawasan hutan karena panitia harus mengecek dan membuat penandanya.

Sebuah areal disebut kawasan hutan legal jika ada berita acara tata batas kawasan hutan dan peta tata batas kawasan hutan yang telah temu gelang.

Selama ini mereka yang memanfaatkan kawasan hutan secara ilegal berkilah bahwa kawasan hutan yang diklaim pemerintah selama ini belum mempunyai dasar hukum karena belum melalui proses pengukuhan kawasan hutan yang sah.

Studi Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung dalam disertasinya di Universitas Riau (Unri) pada September 2021, menulis bahwa banyak status kawasan hutan yang dirambah untuk perkebunan sawit ilegal belum sampai pada tahap pengukuhan kawasan hutan karena baru sebatas penunjukan. 

Guru besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Hariadi Kartodihardjo mengatakan luas hutan yang sah 90 juta hektare akan menjadi dasar segala regulasi kehutanan di atasnya. Secara teoritis, pengukuhan kawasan hutan ini seharusnya bisa menyelesaikan konflik tenurial yang tak kunjung selesai.

Konflik lahan berpengaruh terhadap kepastian berusaha, termasuk mengurangi ruang hidup masyarakat. Pengukuhan kawasan hutan bisa memastikan daya dukung dan daya tampung lingkungan sebelum memberikan izin bisnis tertentu di atasnya. 

Masalahnya, pengukuhan kawasan hutan  belum merata. Di Kalimantan Tengah, Papua dan Riau pengukuhan kawasan hutan belum selesai. Padahal sumber konflik tenurial banyak terjadi di tiga provinsi ini.

Di Riau, 80,93% perkebunan kelapa sawit dari total luas 4,2 juta hektare dikelola petani. Seluas 54,3% berada di kawasan hutan atau 2,28 juta hektare. Sementara di Kalimantan Tengah, konflik tenurial terjadi antara masyarakat adat dengan korporasi pengelola kawasan kebun sawit. Kebun sawit ilegal seluas 829.873,26 hektare. Di Papua, penetapan hutan adat juga tak kunjung rampung.

Semestinya, pengukuhan kawasan hutan dimulai dengan menyelesaikan kawasan hutan yang bermasalah seperti ini. Dari 3,4 juta hektare perkebunan sawit di kawasan hutan, baru 576.983 hektare yang sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Untuk korporasi akan dikenakan sanksi dan denda administratif.

Karena itu, jika pengukuhan kawasan hutan tak menyelesaikan problem-problem pelik seperti ini, ia akan berhenti sebatas angka dan memenuhi kewajiban UU Cipta Kerja secara administratif saja. Sejatinya, pengukuhan kawasan hutan bisa menyelesaikan konflik di atasnya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain