Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 04 Januari 2022

Penyebab Surutnya Industri Kehutanan

Industri kehutanan bangkrut seiring tumbangnya kekuasaan Orde Baru. Penggantinya multiusaha kehutanan.

Pelabuhan angkut kayu HPH di Papua (Foto: Istimewa)

PEMBANGUNAN ala Orde Baru melalui pemanfaatan sumber daya alam. Di sektor kehutanan, caranya dengan mengeksploitasi hutan. Industri kehutanan pun tumbuh pesat sejak 1970, lalu merosot satu per satu seiring kekuasaan Soeharto yang surut setelah 1998.

Pada 1990-1995 produksi kayu lapis Indonesia menguasai pasar kayu tropis dunia (hardwood). Sektor kehutanan menyumbang devisa negara sekitar US$ 16 miliar per tahun, kedua terbesar setelah minyak dan gas. Puncak kejayaan hak pengusahaan hutan (HPH) terjadi pada 1992 dengan produksi industri plywood mencapai 10,86 juta m3.

Kejayaan itu tak pernah terulang lagi. Hingga kini. Setelah 1998, industri kayu pelan-pelan surut. Yang lebih memprihatinkan, setelah daur pertama habis 35 tahun, HPH kehabisan areal hutan alam. Akibatnya, izinnya dicabut atau disetop.

Pemerintah coba memperbaiki manajemen hutan dengan mengubah UU kehutanan menjadi UU 41/1999. Namun, operasional HPH sama saja. Akibatnya, operasional HPH tak ekonomis secara bisnis. Jumlah HPH terus menyusut karena bangkrut yang menapai puncak mengela 64 juta hektare.

Pada akhir 2019, jumlah HPH tinggal 255 unit dengan luas areal 18,7 juta hektare dan hutan tanaman industri (HTI) 293 unit yang mengelola 11,3 juta hektare. Keterpurukan itu kian dalam seiring anjloknya harga kayu yang tak lagi populer sebagai bahan baku pelbagai keperluan karena dianggap tak ramah lingkungan.

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) baru-baru ini melaporkan harga kayu bulat segar (fresh cut) kelompok meranti yang ditebang tahun 2020 hanya Rp1,3-1,4 juta per m3. Sementara kayu bulat yang ditebang pada 2019 hanya Rp 1,2-1,3 juta.

Sedangkan sisa persediaan 2018 di bawah Rp 1 juta per m3 (harga di luar dana reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)), bahkan ada yang hanya dihargai Rp600 ribu per m3. 

Artinya, harga kayu bulat sudah tidak cukup menutupi biaya pokok produksi yang rata-rata di atas Rp 1,4 juta per m3.

Adapun untuk jenis kayu bulat bangkirai, balau, meranti batu, dan jenis kayu-kayu indah masih menguntungkan karena harganya di atas Rp 2,2 juta per m3. Kayu bulat kelompok meranti ini sebagian besar (70%) untuk suplai bahan baku industri kayu lapis (plywood) yang kontinuitas pasokan kayu bulatnya tidak terjamin. Sisanya yang 30% untuk industri kayu gergajian, industri kayu serpih, dan lain-lain.

Sedangkan balau, bangkirai, meranti batu, dan kayu indah digunakan untuk kayu gergajian, moulding, dan furnitur.

Mengapa industri kehutanan bangkrut? Tak ada faktor tunggal tapi bisa kita lihat dari sejak pemberian izin. Banyak lokasi HPH yang merupakan kawasan lindung yang seharusnya tak diberikan kepada swasta untuk diekspoitasi. Akibatnya bencana ekologis seperti kebakaran hutan dan lahan, seperti area-area gambut.

Banjir bandang hanya satu ekses lain. Konflik tenurial adalah dampak lain dari pemberian izin yang serampangan.

Masalah-masalah itu coba diselesaikan dengan multiusaha kehutanan. UU Cipta Kerja menawarkan satu konsep baru mengelola kawasan hutan produksi yang tak lagi mengandalkan kayu.

Sebelum UU Cipta Kerja, pemanfaatan kawasan hutan diberikan secara parsial. Artinya, pemerintah memberikan izin per jenis usaha. Izin multiusaha kehutanan terintegrasi secara elektronik (online single submission).


ARTIKEL MULTIUSAHA KEHUTANAN


Pemanfaatan hutan dalam ruang lingkungan perizinan berusaha berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan bukan kayu, dan pemungutan hasil hutan kayu.

Multiusaha kehutanan juga digadang-gadang menaikkan nilai hutan sehingga memberikan nilai tambah bagi ekonomi. Seperti kajian IPB yang menemukan bahwa hutan campuran—kombinasi pohon hutan, perkebunan, dan pertanian—menghasilkan keuntungan paling tinggi dibanding perkebunan monokultur atau hanya kayu saja.

Masalahnya, kendalanya juga tak sama di tiap wilayah. Tanah hutan terdegradasi yang miskin hara dan keasaman tinggi, seperti di rawa gambut, memerlukan tenaga kerja banyak dan investasi besar. Studi lain dari IPB memang menunjukkan hortikultura gambut juga bernilai besar dan menguntungkan.

Setelah era kayu berakhir, akankah kejayaan industri kehutanan kembali dengan multiusaha? Di era krisis iklim bisnis berbasis sumber daya alam dan lingkungan tak lagi mudah karena tarik-menarik antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan semakin kuat.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain