Kabar Baru| 05 Januari 2022
7 Cara Mencapai Net Zero Emission
DALAM dokumen kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC) yang diajukan dalam Konferensi Iklim COP26 Glasgow Oktober-November 2021, Indonesia sudah menetapkan bakal mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Embel-embel “atau lebih cepat” karena net zero emission adalah mandat Perjanjian Paris 2015 yang meminta seluruh negara mencapai emisi nol bersih itu pada 2050.
Apa itu net zero emission? Secara sederhana acap dimaknai sebagai seimbangnya jumlah emisi karbon dengan penyerapannya. Emisi karbon berasal dari aktivitas manusia. Alam menyediakan penyerapannya berupa tumbuhan, tanah, air, laut, dan sistem semesta. Sebelum abad 17, antara produksi dan penyerapannya seimbang. Emisi menjadi masalah setelah manusia menemukan mesin uap yang membutuhkan bahan bakar.
Ketika produksi dan penyerapannya seimbang, tak ada emisi yang menguap menjadi gas rumah kaca yang mengotori atmosfer. Pemanasan global terjadi ketika karbon dioksida dan empat gas rumah kaca lain bersarang di atmosfer yang mengurangi fungsi selubung bumi ini menyerap emisi dan mempertahankan siklus alamiah planet ini.
Ketika atmosfer tak lagi bisa menyerap emisi dan panas matahari, bumi seperti berada dalam rumah kaca karena panas itu kembali memantul ke sini lalu menaikkan suhu pelan-pelan. Karena itu pemanasan global acap pula disebut efek gas rumah kaca.
Istilah net zero emission adalah istilah ilmiah yang harus diterjemahkan ke dalam kebijakan mengurangi emisi oleh seluruh dunia. Masalahnya, sudah lama dunia timpang sehingga net zero emission bisa mendorong ketidakadilan makin dalam. Negara maju yang telah mencapai puncak emisi berbuah kemajuan dan peradaban bisa menyerukan menurunkan emisi mereka. Bagi negara berkembang yang sedang membangun, menurunkan emisi acap dipahami sebagai memperlambat kemajuan untuk mengurangi kemiskinan.
Bagaimana pun dunia sudah sampai di sini: kemajuan negara lain mesti ditebus dengan krisis iklim yang dampaknya justru menimpa lebih parah negara-negara yang belum maju. Emisi karbon yang diproduksi negara-negara Eropa membuat dampak iklim yang membuat permukaan laut naik dan menenggelamkan negara-negara kepulauan di Pasifik.
Apa boleh buat, net zero emission satu-satunya cara agar dampak iklim tak makin membuat manusia kian menderita. Batasnya adalah mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius dibanding suhu masa praindustri abad 17. Untuk mencapainya, dunia perlu mencapai puncak emisi pada 2030 lalu menurunkannya hingga mencapai net zero emission pada 2050.
Kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim sudah menetapkan bahwa hingga mencapai puncak emisi 2030 anggaran karbon atau emisi karbon yang bisa diproduksi tinggal 400-800 miliar ton setara CO2. Artinya, hingga 2030 anggara karbon per tahun 40 miliar ton. Saat ini produksi emisi karbon global tahunan rata-rata 51 miliar ton. Jika ini dibiarkan para ahli di PBB menghitung kenaikan suhu 1,5C, alih-alih turun, tercapai pada 2040.
Sejumlah ahli dari Universitas Oxford, Inggris, merumuskan tujuh cara mencapai net zero emission yang adil dan berkelanjutan yang dimuat jurnal Nature Climate Change edisi 20 Desember 2021.
Kerangka hukum. Ada banyak cara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. IPCC mengidentifikasi lebih dari 200 skenario mencegah kenaikan suhu 1,5C. Dari seluruh skenario itu, satu yang terpenting adalah menuangkan rencana menurunkan emisi jangka pendek dan jangka panjang melalui perangkat hukum: udang-undang, kontrak, peraturan, yang berdimensi sanksi sehingga menjadi acuan dalam kebijakan. Sebab, menurunkan emisi dalam konsep net zero emission bukan mengurangi emisi dalam jangka waktu tertentu. Net zero emission mengacu pada pengurangan akumulasi emisi.
Pendekatan komprehensif. Net zero emission tak memberikan opsi pengurangan emisi parsial. Misalnya hanya karbon dioksida atau metana saja. Meskipun sumber emisi terbesar berasal dari energi, mengurangi emisi sampah tetap sama pentingnya dengan mengurangi emisi industri berat. Di Indonesia, ada lima sektor yang menjadi ruang lingkup pengurangan emisi: energi, kehutanan dan lahan, limbah, pertanian, produksi dan proses industri.
Tata kelola berbasis alam. Penghilangan karbon dioksida mungkin terbatas biaya, geopolitik, keterbatasan biologis, geologis, teknologi, dan kelembagaan yang memungkinkan kebijakan bertahan lama. Perkebunan skala besar, sering kali memakai spesies pohon eksotik, yang membuat pertukaran jasa ekosistem menjadi rentan. Solusi berbasis alam—perlindungan berbasis keanekaragaman hayati, restorasi, dan pengelolaan ekosistem asli yang berkelanjutan—melibatkan lebih sedikit pertukaran dan lebih tangguh.
Sebagian besar model dalam Perjanjian Paris memerlukan teknologi. Banyak investasi sedang dan akan diperlukan untuk memastikan ada cukup pilihan mengurangi emisi. Dukungan teknologi menjadi bagian dari kerangka hukum dan tata kelola yang lebih luas tentang penyerapan, distribusi, dan penyimpanan CO2, yang akan memastikan akuntabilitas yang jelas, pelaporan yang transparan, manajemen risiko yang hati-hati, dan transparansi tentang karakteristik lingkungan dari berbagai opsi pengurangan. Ini penting tidak hanya untuk lingkungan, tetapi juga untuk mempertahankan dukungan publik dan politik.
Aturan perdagangan karbon yang efektif. Kebutuhan akan integritas sosial dan lingkungan dalam mengurangi karbon dioksida terkait dengan integritas dan regulasi yang tepat dalam nol bersih emisi. Pengalaman penyeimbangan karbon, seperti Mekanisme Pembangunan Bersih atau pasar karbon sukarela, menunjukkan penyeimbangan karbon bermasalah, karena bisa terjerumus greenwashing, kecuali standar kualitasnya ditingkatkan dan ditegakkan.
Kekhawatiran sosial dan lingkungan tentang kredit karbon berpusat pada kredibilitas manfaat karbon yang diklaim pembeli, pemantauan yang buruk terhadap penghindaran emisi, pengurangan, atau penghilangan emisi. Karena nol bersih memerlukan keseimbangan antara emisi dengan serapannya, menimbulkan tantangan teknis secara langsung, karena infrastruktur untuk pemantauan, pelaporan, dan verifikasi karbon yang dihilangkan belum berkembang.
Nol bersih menuntut penyimpanan karbon multidekade. Sementara penyimpanan karbon biologis, misalnya, dalam proyek penghijauan, kurang dari satu dekade. Karbon off set menjadi tidak pasti sebagai solusi iklim.
Transisi yang adil. Keadilan adalah aspek penting mitigasi iklim. Perjanjian Paris secara eksplisit menekankan perlunya transisi yang adil. Konsekuensinya beberapa negara mungkin perlu mencapai nol bersih lebih cepat untuk menciptakan ruang bagi negara lain yang mungkin membutuhkan waktu lebih lama. Karena itu setiap negara harus memetakan jalannya sendiri menuju nol bersih yang sesuai keadaan dan kendala nasionalnya sendiri. Negara-negara berkembang perlu didukung—dalam hal keuangan, teknologi, dan peningkatan kapasitas—dalam mencapai net zero emission.
Kesetaraan ini adalah kunci untuk memastikan rasa solidaritas, kepemilikan kolektif, dan dukungan politik, sehingga meningkatkan peluang tindakan nyata yang berdampak global. Nol bersih dalam prinsip pembangunan berkelanjutan adalah menyeimbangkan tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Selaras dengan tujuan sosio-ekologis. Solusi berbasis alam, seperti melindungi atau memulihkan ekosistem alami dan mengelola lahan dan laut yang berfungsi secara berkelanjutan, secara teori, bisa bersamaan membantu membatasi pemanasan global dan memperlambat penurunan keanekaragaman hayati, juga mendukung kesehatan masyarakat, mata pencarian, dan ketahanan pangan.
Masalahnya, beberapa kegiatan mengklaim diri sebagai solusi berbasis alam, padahal hanya pendekatan biologis penyimpanan karbon, seperti penanaman komersial spesies eksotis di habitat alami. Padahal, cara ini bisa berdampak negatif dalam penyimpanan karbon, keanekaragaman hayati, dan masyarakat lokal.
Peluang ekonomi baru. Menjadikan net zero emission sebagai peluang investasi baru adalah cara terbaik mencapainya. Dalam jangka pendek mungkin terasa berat, tapi dalam jangka panjang, inovasi tanpa karbon bisa menjadi siklus investasi baru dan mendorong pertumbuhan yang baik. Dari pengalaman Jerman yang cukup berhasil memadukan aspek ekonomi dan lingkungan, atau Jepang yang berhasil mengurangi polusi pada 1990-an, mengajarkan net zero emission membutuhkan kerja sama antara pemerintah, industri, serikat pekerja dan masyarakat lokal, serta investasi besar dalam pendidikan, keterampilan dan perlindungan sosial.
Adakah kebijakan net zero emission Indonesia memiliki tujuh syarat ini?
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :