Kabar Baru| 11 Januari 2022
Jika Batu Bara Tak Ada Lagi
PEMERINTAH membuka kembali keran ekspor batu bara setelah dihentikan sejak 1 Januari 2022 karena pelanggaran terhadap kewajiban domestic market obligation atau DMO. Tadinya, larangan ekspor batu bara tersebut berlaku hingga 31 Januari 2022. Karena diprotes pengusaha batu bara, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan mencabutnya pada 10 Januari 2022 malam.
Pemicu larangan ekspor adalah cadangan batu bara untuk pembangkit listrik PLN menipis, hanya cukup untuk 20 hari operasi. Jumlah batu bara yang dibutuhkan PLN sebanyak 5,1 juta ton untuk menghidupi 20 pembangkit listrik yang akan menyuplai setrum kepada 10 juta pelanggan.
Untuk memenuhi pasokan batu bara itu, pemerintah memberlakukan DMO. Apa itu DMO?
Kebijakan ini dibuat sejak 2009, terus diperbarui melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. DMO yang berlaku saat ini mengacu pada Keputusan Menteri Energi Arifin Tasrif Nomor 139/2021 pada 4 Agustus 2021.
Dalam keputusan itu, pemerintah mewajibkan agar pengusaha batu baru menyisihkan 25% produksi batu bara mereka per tahun untuk dijual ke PLN dan bahan bakar industri dalam negeri. Harganya dipatok US$ 70 per ton.
Kebijakan ini tak memicu keributan ketika harga batu bara lebih rendah dari patokan harga tersebut. Namun, pengusaha tentu lebih senang menjual batu bara mereka ketika harganya lebih tinggi dari US$ 70 per ton.
Itu yang terjadi tahun lalu. Akibat pasokan gas yang seret di pasar dunia, permintaan terhadap batu bara melonjak sehingga mengerek harga. Tahun lalu harga batu bara di pasar dunia mencapai US$ 215 per ton. Pengusaha pun berbondong-bondong mengekspornya.
Akibatnya, dari kebutuhan PLN membakar 130-140 juta ton batu bara untuk mengalirkan listrik selama 2021, bahan bakar ini hanya terpenuhi 10%. Pembangkit PLN pun kelimpungan.
Keputusan Menteri Energi soal DMO memang mengatur penutupan keran ekspor ketika batu bara untuk PLN kritis. Per 1 Januari 2022, pemerintah melarang secara total pengiriman batu bara. Padahal, dari 592 pemasok batu bara 85 pengusaha sudah memenuhi kewajiban mereka ke PLN. Larangan ini membuat mereka terkena imbasnya juga.
Protes tak hanya datang dari pengusaha lokal tapi juga dari negara penerimanya. Larangan ekspor membuat pembangkit batu bara negara-negara seperti Cina, Jepang, Korea, atau Filipina yang sudah menjalin kontrak pembelian dengan pengusaha Indonesia terancam tak mendapatkan pasokan.
Dari kisruh dan ribut-ribut ini terlihat bahwa batu bara maupun kebijakan mengaturnya melalui DMO rapuh dan rentan. Sebagai bahan bakar terbanyak yang menjadi sumber energi, batu bara menjadi rebutan banyak negara.
Akibatnya adalah krisis iklim karena produksi gas rumah kaca dari pembakaran batu bara. Sebanyak 80% sumber energi global dipenuhi dari batu bara. Sebanyak itu pula gas rumah kaca terpompa ke atmosfer membuat suhu bumi naik melewati 10 Celsius dalam satu abad terakhir.
Karena itu Perjanjian Paris 2015 yang dihadiri 137 negara sepakat mencegah suhu bumi naik 1,5C pada 2030. Caranya mengurangi separuh produksi emisi global tahunan yang tembus 52 miliar ton setara CO2.
Perjanjian tersebut dibahas kembali dalam COP26 di Glasgow pada 31 Oktober-13 November 2021. Namun kesepakatan menyetop secara total pemakaian batu bara pada 2030 dianulir Cina dan India. Akhirnya, dunia sepakat mengurangi secara perlahan-lahan pemakaian batu bara, bukan menghentikannya secara total.
Presiden COP26 Alok Sharma sampai menangis ketika mengumumkan kesepakatan di hari terakhir konferensi sebagai kesimpulan dari perundingan alot sepekan sebelumnya. Para ilmuwan di PBB memperkirakan suhu bumi akan mencapai puncak 1,5C pada 2040 karena pemakaian energi fosil itu.
Indonesia baru berhenti memakai batu bara pada 2030. Artinya, batu bara akan benar-benar hilang pada 2055 jika melihat kontrak pengadaannya yang rata-rata berusia 25 tahun. Penggantinya adalah energi terbarukan seperti matahari, angin, ombak, panas bumi, tenaga air.
Sejauh ini, energi terbarukan sebagai solusi krisis iklim selalu dianggap sebagai sumber energi yang mahal—dalih pemerintah dan industri agar dunia bertahan memakai energi fosil yang memang murah dan mudah karena tinggal mengeruknya dari bumi. Pemerintahan yang tidak kreatif akan cenderung menikmati kemudahan itu seiring kian langkanya energi fosil sehingga harganya menjadi mahal.
Kisruh larangan ekspor batu bara akibat kebijakan DMO menunjukkan bahwa perlu ada diversifikasi sumber bahan bakar agar energi fosil tak menjadi satu-satunya sumber energi. Ketika ia langka harganya akan mahal dan merusak lingkungan serta menyebabkan krisis iklim.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :