SEBAGAI seorang rimbawan, Presiden Joko Widodo acap mendapat kritik bahwa alumni Fakultas Kehutanan UGM ini tak paham soal pembangunan kehutanan. Ia menjadi sponsor UU Cipta Kerja yang mengutamakan kepentingan bisnis ekstraktif sehingga manajemen hutan lestari jadi tersisih.
UU Cipta Kerja juga menghapus luas minimal 30% hutan di sebuah daerah aliran sungai atau pulau untuk mencegah bencana. Jokowi memimpikan lumbung pangan atau food estate dengan mengorbankan hutan lindung. Sikap Jokowi juga tak jelas soal deforestasi versus pembangunan.
Apakah tak ada pemahaman ajek dari Presiden Jokowi soal pembangunan kehutanan yang adil dan lestari—jargon pengelolaan hutan Indonesia sejak lama?
Dalam buku “ Darurat Hutan Indonesia: Mewujudkan Arsitektur Baru Kehutanan Indonesia” yang terbit tahun 2014 dalam rangka 50 tahun Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, Joko Widodo masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Ia menulis tentang “Hutan Untuk Kemakmuran Rakyat”.
Dalam tulisan tersebut Jokowi menekankan pentingnya tiga hal, yakni kepemimpinan yang efektif, saatnya menanam, serta mendongkrak pendapatan masyarakat melalui menanam kayu. Ketika menjadi Presiden, Jokowi menetapkan 12,7 juta hektare hutan negara untuk perhutanan sosial—reforma agraria di sektor kehutanan. Jokowi juga hendak membagikan 4,7 juta hektare melalui Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk menyelesaikan problem ketimpangan sosial.
Dalam praktiknya, lahan yang termasuk dalam TORA dan perhutanan sosial akan dibuat per klaster dan dikelola oleh kelompok masyarakat. Bedanya terletak pada hak pemanfaatannya. TORA bisa digunakan sebagai hak milik, sementara perhutanan sosial berupa hak akses mengelola hutan dalam waktu tertentu.
Lahan TORA adalah hak milik yang sertifikatnya tidak bisa dijual dan tidak bisa dipecah melalui sistem waris. Sedangkan lahan perhutanan sosial tidak boleh merusak ekosistem hutan dan penebangan kayu hanya dibolehkan di hutan produksi.
Sewaktu silaturahmi dengan dosen, alumni, dan mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM pada Desember 2017, Jokowi menyatakan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seharusnya mampu membangun hutan asal dikerjakan secara detail dari hulu ke hilir. Mulai dari persemaian, penanaman, pemeliharaan sampai ke penebangan.
Jokowi menyitir dan menimba pengalaman dari Norwegia yang kaya dan makmur dengan mengandalkan hasil hutannya. Sementara KLHK telah puluhan tahun membangun hutan melalui reboisasi dan penghijauan dengan anggaran triliunan rupiah, tidak satu pun yang berhasil menjadi hutan yang sebenarnya.
Seingat Jokowi yang membuat dan membangun hutan benar-benar adalah UGM melalui hutan Wanagama di Gunung Kidul seluas 112 hektare. Karena itu, menurut Jokowi, negara sebetulnya mampu membangun hutan seperti Wanagama.
Jika luas rehabilitasi lahan per tahun 3.000 hektare, seperti klaim KLHK, selama 41 tahun seharusnya terbentuk 123.000 hektare. Tapi rasanya tak ada hutan sempurna seluas ini yang berasal dari rehabilitasi.
Karena itu Joko Widodo menyarankan agar meninggalkan paradigma lama melalui jargon menanam 1 miliar pohon secara nasional atau satu juta pohon di daerah. Faktanya tidak ada yang berhasil. Mestinya cukup fokus berapa hektare yang penting dijamin harus berhasil menjadi hutan yang sebenarnya setelah beberapa tahun kemudian.
Tampaknya, KLHK masih memakai paradigma lama dengan menyodorkan angka-angka dan data luas tanaman setiap tahun, tanpa melaporkan luas tanaman hutan yang benar-benar menjadi hutan dalam arti yang sebenarnya. Untuk membangun hutan yang sebenarnya perlu teknologi, manajemen persemaian, penanaman dan pemeliharaan yang detail dan rinci sampai dengan pohon menjadi dewasa.
Jika rehabilitasi masih memakai paradigma lama, kegiatan ini akan mengkonfirmasi kritik selama ini sebagai pemborosan atau cost center. Kegiatan rehabilitasi lahan memakai dana reboisasi—iuran perusahaan konsesi kehutanan. Agar tak jadi kesan menghambur-hamburkan biaya, paradigma rehabilitasi mesti diubah.
Akhir tahun lalu, Jokowi juga mengatakan akan memaksa perusahaan kelapa sawit dan tambang untuk membangun persemaian. Kebijakan ini diterapkan untuk mendukung program kelestarian lingkungan. Hasil dari persemaian akan ditanam di lahan-lahan rawan banjir dan longsor.
Ini pemikiran yang bagus. Jika merujuk data tahun 2020, rehabilitasi hanya 3.100 hektare sementara laju deforestasi 146.000 hektare. Sementara deforestasi laten berupa lahan kritis dalam kawasan hutan sebagai akumulasi laju deforestasi sebelum 2018 yang belum tersentuh program rehabilitasi mencapai 13,4 juta hektare.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perusahaan perkebunan besar sawit pada 2020 sebanyak 2.335 unit perusahaan dan pertambangan 5.474 unit. Jika benar Presiden Jokowi hendak memaksa dan mengharuskan perusahaan perkebunan besar kelapa sawit dan pertambangan membuat persemaian dengan skala produksi 10 juta bibit per tahun, rehabilitasi bisa mencapai puluhan miliar pohon.
Di awal 2022, Jokowi mengumumkan sendiri mencabut 192 izin konsesi kehutanan yang bermasalah, 48 di antaranya izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang belum berubah statusnya menjadi hak guna usaha. Selebihnya 144 izin adalah izin kehutanan dari hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). Juga mencabut 2.078 izin pertambangan.
Jadi, dengan pelbagai hal di atas, apakah komitmen Jokowi terhadap pembangunan kehutanan masih kurang seperti kritik kepadanya selama ini? Kritik kepada Jokowi acap bertumpu pada payungnya, bahwa ia mementingkan investasi yang acap mengancam lingkungan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :