Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 18 Januari 2022

3 Masalah Izin Konsesi Hutan

Pemerintah mencabut 192 izin konsesi kehutanan. Apa yang salah dengan industri kehutanan?

Kegiatan bongkar muat kayu HPH Papua (Foto: Istimewa)

PEMERINTAH mencabut 192 izin konsesi kehutanan yang bermasalah. Dari 192 izin kehutanan itu, 48 izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang statusnya belum berubah menjadi hak guna usaha (HGU). Selebihnya, 144 izin adalah izin kehutanan dari hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). 

Sebetulnya, keputusan pencabutan ini terlambat. Seharusnya sejak sebelum era Presiden Joko Widodo pemerintah sudah mencabut izin-izin memanfaatkan hutan yang bermasalah ini. Sejak 1998, industri kehutanan hancur, perusahaan kayu limbung. Dari 600-an HPH pada 195 yang mengelola 64 juta hektare, menurun separuhnya tinggal 304 unit pada 2010. Kini hanya sekitar 201 perusahaan yang mengelola konsesi tak lebih dari 19 juta hektare.

Salah satu parameter surutnya era keemasan kayu alam adalah HPH yang tidak mampu melanjutkan operasi perusahaan setelah masa konsesi pertama selesai, yakni 20 tahun dari 35 tahun daur silvikultur hutan. Banyak HPH yang hutan alamnya habis karena pembalakannya diijon—ditebang sebelum daurnya tiba.

Akibatnya, secara teknis izin konsesi tidak bisa diperpanjang. Atau produktivitas hutan alam setelah rotasi kedua menjadi sangat rendah atau bahkan tidak ekonomis. Kondisi ini menyebabkan HPH gulung tikar, sebagian tidak aktif dan mati suri.

Maka dengan keadaan seperti itu seharusnya pemerintah segera mencabut izin mereka tanpa menunggu masa konsesinya habis. Dari 192 izin kehutanan yang dicabut, beberapa izin HPH terbit sebelum 2000, antara 1989-1996.

Sementara itu, dari 3,2 juta hektare izin kehutanan yang dicabut, sekitar 1,8 juta hektare berupa izin perkebunan kelapa sawit yang tersebar 19 provinsi milik 137 perusahaan. Terluas ada di Papua sekitar 680,9 ribu hektare milik 26 perusahaan. 

Alasan pencabutan karena perusahaan perkebunan sawit itu menyalahgunakan aturan. Sebut saja, misalnya, mengalihkan izin usaha perkebunan sawit dan menambang batu bara. Pertanyaannya, mengapa mereka menyalahgunakan izin? Pencabutan ini menunjukkan ada yang keliru dalam verifikasi pemberian izin konsesi.

Pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi mengacu sepenuhnya pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.96/2018 dan P.50/2019. Di samping harus lolos persyaratan teknis, pemohon izin pelepasan kawasan hutan harus membuat pernyataan komitmen yang berisi tentang penyelesaian analisis dampak lingkungan hidup (Amdal) atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL); menyelesaikan tata batas pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK); dan mengamankan HPK yang akan dilepaskan.

Apabila lokasi HPK yang akan dilepas tersebut memenuhi persyaratan teknis dan hukum, Menteri Kehutanan akan menerbitkan keputusan tentang pelepasan kawasan HPK dan peta pelepasan kawasan HPK. Pemegang Keputusan Menteri tentang pelepasan kawasan HPK wajib menyelesaikan pemenuhan komitmen paling lambat satu tahun setelahnya.

Berikut ini beberapa kelemahan mendasar izin pelepasan kawasan HPK:

Pertama, tidak menyertakan dan mengharuskan pernyataan kemampuan finansial perusahaan pemohon berupa laporan terakhir audit finansial dari auditor independen yang kredibel. Padahal dalam pernyataan komitmen, tiga kegiatan yang berada di dalamnya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.

Sebut saja dalam kegiatan tata batas kawasan pekebunan dengan komoditas tebu seluas 100.000 hektare, panjang kawasan mencapai 220 kilometer. Jika 1 kilometer butuh biaya Rp 15 juta, biaya tata batas saja Rp 3,3 miliar. Belum lagi membuat Amdal, UKL-UPL, dan pengamanan kawasan.

Kedua, sistem dan mekanisme pengawasan pelepasan kawasan hutan yang dilimpahkan kepada daerah sangat lemah. Akibatnya, pelanggaran hukum oleh perusahaan tidak terdeteksi secara dini, sehingga pemenuhan komitmen tidak dapat berjalan dengan baik.

Ketiga, dari sisi perusahaan, kesalahan mendasar mereka adalah perhitungan jatah tebang tahunan (ACC) yang tidak didasarkan pada kondisi potensi volume kayu yang sesungguhnya di lapangan. Dalam penetapan AAC, terdapat kecenderungan korporasi menghitung angka yang lebih tinggi dari yang seharusnya dan tanpa verifikasi dari pengawas.

Kesalahan ini menyebabkan areal tebangan yang seharusnya belum waktunya masuk dalam rotasi tebangan telah lebih dahulu diijonkan untuk ditebang lebih awal. Akibatnya, sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia, Tebang Habis Permudaan Ala) dan Tebang Habis Permudaan Buatan, tidak dipatuhi di lapangan karena pengawasan aparat kehutanan setempat lemah.

Jumlah HPH dan luas konsesi hutan Indonesia

Sementara itu hutan tanaman industri (HTI) yang diharapkan mampu mengambil peran HPH sebagai pemasok kayu untuk industri kehutanan juga didera beberapa masalah yang tidak kalah seriusnya.

Menurut Profesor Zufri Hamzah, guru besar kehutanan IPB, usaha HTI membutuhkan dan mengambil banyak tempat dan ruang serta mudah rusak dan busuk (perishable), sementara harganya murah dibandingkan dengan barang substitusi lain. Akibatnya, secara ekonomi kurang menguntungkan. 

Modal HTI juga lumayan besar. Apalagi jika ditambah dengan investasi pembuatan pabrik industri pengolah hutan tanaman seperti pabrik bubur kayu (pulp). Dulu, untuk menarik minat investor, pemerintah memberikan insentif pinjaman dana reboisasi dengan bunga rendah. Sayangnya, modal pinjaman dana reboisasi banyak yang diselewengkan hingga skema pinjaman ini dihentikan.

Dulu sempat ada ide jaminan asuransi bagi HTI untuk melindungi hasil-hasil hutan tanaman dari kebakaran dan kerusakan. Kenyataannya tak satu pun perusahaan asuransi mau menjamin usaha HTI karena waktunya yang panjang dan arealnya yang luas.

Walhasil, industri kehutanan yang mengandalkan kayu sangat rentan. Hari ini kerentanan itu terbukti dengan pencabutan ratusan izin perusahaan yang mengelola jutaan hektare konsesi hutan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain