Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 19 Januari 2022

Bumi Dalam Fase Kepunahan Keenam

Sejak 1500 bumi kehilangan 150-260 ribu spesies. Benarkah bumi memasuki kepunahan keenam?

Burung empuloh janggut yang terancam punah (Foto: M. Meisa/Burung Indonesia)

SEJARAH mencatat kepunahan massal mahluk hidup di bumi sudah terjadi lima kali selama usia planet ini yang 4,5 miliar tahun. Lima kepunahan itu terjadi karena sebab alami. Kini, para ahli mengatakan bumi menghadapi kepunahan keenam akibat aktivitas manusia.

Elizabeth Kolbert, wartawan New Yorker, melacak tanda-tanda kepunahan keenam planet bumi dan menuangkannya dalam buku Sixth Extintion yang terbit pada 2014. Gramedia mengindonesiakannya menjadi Kepunahan Keenam tahun lalu (baca resensinya di sini).

Konstruksi Kayu

Temuan Elizabeth Kolbert diperkuat oleh temuan sejumlah ilmuwan biologi University of Hawai dan Museum National d’Histoire Naturelle Prancis yang menerbitkannya dalam jurnal Biological Reviews.

"Tingkat kepunahan beragam spesies meningkat drastis, meski banyak juga yang menyanggah ini fenomena kepunahan massal," kata Robert Cowie, ketua penelitian ini yang juga peneliti di Pusat Penelitian UH Manoa Pacific Biosciences Research Center in the School of Ocean and Earth Science and Technology (SOEST) dikutip dari Science Daily yang terbit pada 13 Januari 2022.

Penyangkalan krisis tersebut, menurut Cowie, lahir dari pandangan bias yang berfokus pada mamalia dan burung. Penyangkalan atas fakta kepunahan massal mengabaikan invertebrata atau hewan tanpa tulang belakang yang merupakan mayoritas dari mahluk hidup di planet ini.

Cowie dan para peneliti memperkirakan sejak 1500, bumi telah kehilangan 7,5-13% dari 2 juta spesies yang sudah teridentifikasi hidup di bumi, yakni berkisar antara 150.000-260.000 spesies. "Jumlah itu termasuk invertebrate,” katanya. “Maka jelas kita memasuki fase keenam kepunahan massal dalam sejarah bumi.”

Kepunahan massal spesies bumi itu tak sama di semua tempat. Meskipun spesies laut menghadapi ancaman yang signifikan, kata Cowie, tidak ada bukti bahwa krisis tersebut mempengaruhi lautan pada tingkat yang sama seperti daratan.

Di darat, spesies pulau, seperti yang ada di Kepulauan Hawaii, jauh lebih terpengaruh daripada spesies kontinental. Sedangkan tingkat kepunahan tumbuhan, menurut para peneliti, tampaknya lebih rendah daripada hewan darat.

Hasil studi ini sekaligus membantah penyangkalan sains dari sisi lain bahwa kepunahan keenam telah dimulai—keyakinan sebagian ilmuwan yang mengacu pada hilangnya pelbagai spesies endemik di beberapa tempat. Apa yang diuraikan Kolbert, misalnya, reportase tentang menghilangnya katak emas Panama pada 2002-2004.

Istilah “kepunahan keenam” merujuk pada artikel David B. Wake dan Vence T. Vredenburg di jurnal PNAS edisi 12 Agustus 2008. Mereka menulis artikel berjudul Are we in the midst of the sixth mass extinction? A view from the world of amphibians.

Artikel tersebut menjadi debat ilmiah tak hanya istilahnya tapi fakta bahwa kepunahan keenam seperti lima kepunahan sebelumnya tengah berlangsung di bumi. Para penyangkal, misalnya, menganggap bahwa kehilangan satu spesies terjadi akibat evolusi, bukan karena mereka menghilang.

Sementara para ilmuwan yang berdiri bersama David Wake dan Vence menganggap bahwa ulah manusia menjadi penyebab satu-satunya dalam kepunahan itu. Keduanya tentu merujuk pada krisis iklim. “Manusia adalah satu-satunya spesies yang mampu memanipulasi biosfer dalam skala besar,” kata Cowie.

Kemampuan manusia beradaptasi dengan keadaan alam membuat ia mahluk paling bisa mempertahankan evolusinya dibanding mahluk hidup lain. Manusia mahluk paling sadar akan keberadaan dan masa depan mereka.

Karena itu berbagai inisiatif konservasi telah berhasil dilakukan untuk hewan tertentu. Tetapi inisiatif ini tidak dapat menargetkan semua spesies, dan mereka tidak dapat membalikkan tren kepunahan spesies secara keseluruhan.

Satwa liar makin berkurang sejak 1970 dengan pelbagai sebab akibat ulah manusia.

Krisis iklim yang menjadi tersangka utama kepunahan mahluk hidup terjadi dalam tiga abad terakhir. Produksi emisi dari pembakaran energi fosil, penggundulan hutan untuk tempat tinggal, pertanian, perkebunan, membuat emisi yang diproduksi manusia itu tak terserap.

Akibatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer naik sehingga panas dari bumi memantul kembali ke planet ini. Bumi pun pelan-pelan memanas. Pemanasan global membuat hewan terpaksa beradaptasi. Menurut teori Darwin, mereka yang tak bisa beradaptasi tak bisa bertahan.

Mungkin benar: kita sedang berada di tengah kepunahan keenam, hilangnya mahluk hidup di bumi akibat ulah manusia yang terlalu serakah mengeruk kekayaan bumi.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Penggerak @Sustainableathome

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain