Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 20 Januari 2022

Badak Sumatera Terancam Punah

Reproduksi yang lambat membuat badak Sumatera terancam punah. Bagaimana menyelamatkannya?

Badak Sumatera, mamalia darat paling langka di dunia yang hanya tersisa di pulau Sumatera dan Kalimantan (Foto: Sunarto)

BADAK Sumatera terancam punah. Tekanan terhadap populasi Dicerorhinus sumatrensis ini dimulai dari perburuan masif pada 1980-an. Pembukaan hutan untuk pelbagai tujuan—perkebunan, pertanian, pertambangan—menjadi pemicu kepunahan badak setalah tahun 1990-an.

Pada 1991, populasi badak Sumatera terdeteksi sekitar 536-960 spesies. Pada 2020, jumlahnya diperkirakan tinggal 70. “Populasi badak semakin turun karena badak termauk hewan reproduksi yang lambat,” kata Sunarto, peneliti Institute for Sustainable Earth and Resources Universitas Indonesia nya dalam webinar “Kinerja Konservasi Badak Sumatera” yang diadakan Yayasan Auriga Nusantara pada 18 Januari 2022.

Konstruksi Kayu

Mengutip penelitian Schaffer dkk (2020), Sunarto menjelaskan bahwa 70% badak di penangkaran mengalami masalah reproduksi. Bahkan badak yang baru diselamatkan dari populasi kecil, memiliki masalah reproduksi hampir 85%. “Dengan publikasi ini rencana aksi darurat penanganan badak harus disesuaikan,” kata dia.

Soalnya, dulu konservasi badak Sumatera hanya fokus ke tempat-tempat badak tersisa. Menurut Sunarto, kini konservasi badak Sumatera mesti didukung dengan assisted reproductive technology (ART).

Assisted reproductive technology (ART) adalah upaya mencegah kepunahan badak dengan memaksimalkan fungsi individu badak. ART digunakan untuk memaksimalkan pemanfaatan plasma nutfah (sumber genetik) badak dalam menghasilkan embrio untuk menjadi anak badak baru.

Aplikasi ART digunakan untuk pemeriksaan status reproduksi, pengurutan genom, koleksi dan pembekuan sperma, koleksi dan kriopreservasi sel fibroblas, produksi dan pembekuan embrio, pembangunan fasilitas laboratorium ART dan Bio-bank, penyiapan induk penerima transfer embrio, serta produksi embrio melalui rekonstruksi sel fibroblas.

Lambatnya reproduksi badak Sumatera tecermin dari pengalaman Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI) Sukianto Lusli. Organisasi ini telah menandatangani nota kesepahaman konservasi badak Sumatera dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta perjanjian kerja sama dengan tiga balai taman nasional untuk melindungi populasi badak Sumatera yang tersisa.

YABI, kata Sukianto, membuat target untuk mengembangbiakkan sepuluh ekor badak sampai 2025. Namun hingga 2022, YABI baru berhasil mengembangbiakkan dua ekor. Menurut Sukianto, problemnya adalah menemukan badak di kawasan konservasi.

Jika dipaksakan untuk memenuhi target YABI, Sukianto khawatir individu yang dihasilkan akan memiliki kedekatan genetik. Ujungnya akan menghasilkan individu badak yang tidak mampu bertahan hidup cukup lama.

Untuk meluaskan pentingnya konservasi badak Sumatera, menurut Komisi Informasi Pusat Gede Naryana, perlu kampanye masif. Selain akan memberikan kesadaran untuk mencegah dan menghentikan perburuan dan jual-beli cula, informasi konservasi badak Sumatera akan mendorong publik turut serta dalam gerakan ini.

Konservasi badak membutuhkan biaya mahal. Untuk memelihara badak Sumatera di Kalimantan, sebuah organisasi menghabiskan Rp 10 miliar setahun. Dorongan publik dan kolaborasi antar pelbagai lembaga akan menciptakan konservasi badak dengan benar, baik melalui teknologi maupun secara alamiah.

Badak tergolong ke dalam hewan payung. Artinya, melindungi badak Sumatera sekaligus melindungi hewan lain. Masalahnya, badak salah satu hewan yang masuk dalam Allee effect, istilah konservasi untuk mengategorikan satwa yang punah karena sudah sangat langka. Atau tabiatnya secara alamiah.

Badak dan panda termasuk hewan jenis ini karena mereka kawin hanya dua tahun sekali. Tanpa faktor-faktor luar yang bisa memusnahkan hewan itu pun, satwa jenis ini akan punah dengan sendirinya jika tanpa campur tangan manusia. Kepunahan badak Sumatera akan menghilangkan keragaman hayati planet bumi ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain