UNDANG-Undang Cipta Kerja mendorong kemudahan investasi dalam pelbagai sektor, termasuk kehutanan. Karena itu perlu lahan besar untuk niat tersebut. Industri kehutanan kini tak hanya bisnis kayu, tapi multiusaha dengan beragam komoditas. Dengan isu perdagangan karbon, para pengusaha bersiap mengajukan izin-izin baru menggarap lahan.
Dalam aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni Peraturan Pemerintah 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, disebutkan bahwa perizinan berusaha bisa dilakukan di kawasan hutan lindung maupun hutan produksi. Bentuknya pemanfaatan maupun penggunaan kawasan hutan.
Disebutkan di sana, penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang strategis dan tak bisa dielakkan. Contoh yang diatur adalah pertambangan. Sementara pemanfaatan kawasan hutan berupa pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Contohnya, budi daya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, makanan ternak,
buah-buahan dan biji-bijian, tanaman asiri, nira, wanamina, wanaternak, wanatani, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa.
Masalahnya adakah lahan siap pakai di hutan produksi dan hutan lindung untuk mengakomodasi semua bisnis itu?
Dalam The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020, luas hutan Indonesia menyusut tinggal 120,3 juta hektare, dengan 22,9 juta hektare hutan konservasi, 29,6 juta hektare hutan lindung, 26,8 juta hektare hutan produksi terbatas, 29,2 juta hektare hutan produksi biasa, dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang dapat dikonversi.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor SK.5446/MENLHK-PKTL/ IPSDH/PLA.1/8/2021 26 Agustus 2021 tentang peta indikatif penghentian perizinan berusaha, persetujuan penggunaan kawasan hutan yang acap disebut Persetujuan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Baru pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (PIPPIB) 2021 Periode II.
Dari hasil pemutakhiran data menunjukkan PIPPIB 2021 periode II sebesar ±66.139.183 hektare, berkurang 42.911 dari periode I. Dalam PIPPIB 2021, yang lebih dikenal dengan Moratorium Permanen Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, luas hutan 66, 139 juta hektare termasuk kawasan hutan produksi 17 juta hektare.
Jika pemerintah hendak memanfaatkan hutan lindung, luas yang tersedia 23,7 juta hektare, yang terdiri dari hutan primer 15,9 juta hektare dan sisanya hutan sekunder. Sementara hutan lindung yang sudah terdegradasi dan tak lagi memiliki tutupan hutan 5,6 juta hektare.
Sementara hutan produksi yang akan dimanfaatkan seluas 68,8 juta hektare. Tapi seluas 17 juta hektare tak bisa dibuka karena masuk skema moratorium permanen hutan alam primer dan gambut. Jika mau memakai hutan produksi, luas tersisa 22,7 juta hektare.
Saat ini hutan produksi yang telah dibebani hak konsesi seluas 18,7 juta hektare yang dikelola 257 perusahaan. Praktis hutan produksi sekunder yang belum berizin atau belum dibebani hak tersisa 4 juta hektare.
Sementara hutan produksi yang tidak punya tutupan hutan seluas 23,3 juta hektare dengan luas konsesi 11,8 juta hektare. Hutan tanaman yang dianggap kembali berhutan seluas 3,9 juta hektare. Maka hutan produksi yang masih punya tutupan hutan dan belum ada konsesinya seluas 7,9 juta hektare plus hutan produksi yang gundul 16,8 juta hektare. Praktis sisa hutan produksi tinggal 8,9 juta hektare—itu pun sudah dicadangkan untuk perhutanan sosial.
Dengan melihat angka-angka ini, areal hutan untuk perizinan berusaha industri kehutanan baru sebenarnya tak ada lagi. Bisnis kehutanan mesti diarahkan kepada hutan gundul berupa bisnis restorasi. Kini, melalui UU Cipta Kerja, restorasi menjadi salah satu jenis bisnis dalam multiusaha kehutanan.
Salah satunya adalah areal 3,2 juta hektare dari 192 izin konsesi kehutanan yang dicabut dua pekan lalu. Dari luas itu, 1,8 juta hektare berupa perkebunan kelapa sawit di19 provinsi yang dikelola 137 perusahaan.
Masalahnya, pencabutan izin tersebut menunjukkan tata kelola pemberian konsesi kepada industri kehutanan bermasalah. Maka jika pemerintah hendak memberikan konsesi ulang di atasnya, perlu kajian menyeluruh agar tujuan mendelegasikan lahan kepada perusahaan sesuai tujuannya: menciptakan hutan seraya bermanfaat bagi ekonomi dan lingkungan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :