Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 29 Januari 2022

Menilik Data Hutan yang Berbeda-beda

Ada banyak data tentang luas hutan Indonesia. Bagaimana menyatukannya?

Kampung Citalahab di tengah hutan Gunung Halimun (Foto: FD)

SEBAGAI institusi lembaga negara yang “menguasai” aset lahan negara sangat luas (lebih dari 60% dataran Indonesia), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus punya data solid agar pelbagai kegiatan pembangunan terarah. Masalahnya, harapan ini agaknya masih susah terwujud.

Dalam rapat kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 25 Januari 2022 terungkap banyak data yang belum konsisten. Misalnya, data deforestasi.

Konstruksi Kayu

Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung pada 2013, luas lahan sangat kritis mencapai 24,3 juta hektare, 64% di dalam kawasan hutan dan 36% di luar kawasan hutan. Lima tahun kemudian Rencana Strategis Ditjen PDASHL 2020-2024, lahan kritis dalam kawasan hutan berkurang 2 juta hektare menjadi 13,36 juta hektare. Dari mana angka ini?

Lain pula dengan data di buku The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020. Kawasan hutan tetap yang tidak berhutan atau tidak mempunyai tutupan hutan seluas 33,4 juta hektare. Bagaimana memahami angka-angka yang berbeda ini?

Angka deforestasi tiga versi ini saya sebut deforestasi laten karena terselubung. Karena deforestasi menjadi masalah dan momok pengelolaan hutan maka reboisasi dan rehabilitasi. Mekanismenya sudah ada, yakni pungutan dana reboisasi dari usaha pemanfaatan hasil hutan alam.

Data lain yang penting adalah luas hutan alam primer dan lahan gambut. Pemerintah sudah menghentikan pemberian izin baru pada 26 Agustus 2021 melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.5446/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2021.

Dari pemutakhiran data Persetujuan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Baru pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (PIPPIB) 2021 periode II luasnya 66.139.183 hektare, berkurang 42.911 hektare dari periode I. Dalam PIPPIB 2021, yang lebih dikenal dengan Moratorium Permanen Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, luas hutan 66,139 juta hektare termasuk kawasan hutan produksi 17 juta hektare.

Sementara dalam The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020 hutan alam primer (primary forest) seluas 46,8 juta. Dengan demikian ada selisih luas hutan alam primer 9 juta hektare, yang tidak ada penjelasannya.

Isu lain yang menarik adalah luas perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan. Menurut Ketua Komisi IV DPR Sudin, KLHK telah menyerahkan nama-nama daftar perusahaan perkebunan ilegal yang belum mendapat izin pelepasan kawasan hutan dan nama-nama perusahaan tambang yang belum membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

Dari daftar nama itu, perkebunan sawit di kawasan hutan baru 713.000 hektare. Padahal, luas kebun sawit di kawasan hutan yang acap dirilis seluas 3,2 juta hektare. Apakah luas perkebunan yang belum disampaikan kepada DPR belum selesai dicek?

Jika mendengar cerita Sudin yang pernah melihat kebun sawit di kawasan hutan, banyak perusahaan besar yang merambah kawasan hutan. Luasnya di Kalimantan Tengah saja 60.000 hektare. Tapi tidak ada dalam daftar yang diserahkan ke DPR.

Apa yang sebenarnya yang terjadi dalam pengelolaan data spasial dan penggunaan lahan kehutanan di KLHK? Mengapa data tidak konsisten dan berubah-ubah?

Maka sudah saatnya kita perlu peta satu data. Ini rencana lama yang tak kunjung terealisasi.

Dalam buku The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020, KLHK mamupun menyusun tabel “Extent of land cover types in Forest Area and Non-Forest Area in Indonesia (2019)” yang secara detail dan rinci membagi luas kawasan hutan negara tetap dan areal penggunaan lain (APL) dalam satu data dan peta.

Mungkin masalahnya bukan teknis tapi karena beban masa lalu yang menghambat pengumpulan dan penyajian data. Otonomi daerah membuat kepala daerah berwenang memberikan izin pemanfaatan lahan. Izin prinsip dari bupati dianggap sama dengan persetujuan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. 

Karena tidak ada koordinasi, izin-izin prinsip perkebunan kelapa sawit juga menindih konsesi kehutanan. Ini yang membuat tata kelola penggunaan lahan menjadi semrawut.

Sementara kebutuhan lahan kian meningkat untuk pembangunan. Jika tata kelola lahan dan kehutanan dalam menentukan luas hutan tak kunjung beres, problem ini akan terus menghantui Indonesia. Mungkin bisa dimulai dengan menyegerakan cita-cita data satu peta tadi.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain