DATA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan dalam periode 2004-2020 sebagian besar korupsi berupa suap kepada pejabat publik. Jika kita tarik lebih jauh, korupsi jenis ini terjadi karena regulasi berupa “persetujuan”, “rekomendasi”, “penetapan”, “pengesahan”, “pengukuran”, “penilaian” atau “pertimbangan” dari pemerintah yang membuka peluang transaksi antara swasta dan pejabat pemerintah.
Jenis suap berupa hadiah, lobi ilegal atau tidak etis untuk mempengaruhi perilaku penerimanya. Bentuknya bisa uang, barang, hak dalam tindakan, properti, preferensi, hak istimewa, objek nilai, keuntungan, atau janji untuk mempengaruhi tindakan, suara, atau pengaruh seseorang dalam kapasitas resmi atau publik. Mengapa berbagai jenis transaksi itu mudah berulang?
Dalam “The New Institutional Economics of Corruption”, Johann Graf Lambsdorff, Markus Taube dan Matthias Schramm menjelaskan perilaku korupsi dari perspektif ekonomi institusi. Empat penjelasan berikut diambil dari Bab Corruption–its spread and decline yang ditulis oleh Hartmut Schweitzer dalam buku itu.
Cakupan korupsi. Korupsi didefinisikan sebagai perolehan keuntungan individu melalui pertukaran legitimasi dan hak moral atau di mana metode dianggap tidak bisa diterima secara moral atau hukum.
Jadi korupsi adalah manifestasi persaingan yang tidak terpecahkan antara norma-norma partikularistik (norma individual atau kelompok) dan universalistik (norma masyarakat secara umum). Bisa juga dari konflik yang belum terselesaikan antara norma-norma universalistik yang berbeda, yang tidak sesuai bahkan kontradiktif.
Korupsi partikularistik adalah tindakan yang diturunkan dari norma partikular yang tidak cocok dengan norma universal. Adapun korupsi universalistik terjadi bila norma-norma universalistik dinilai oleh mayoritas, masyarakat atau sistem peradilan, dengan menggunakan norma yang berbeda.
Sedangkan korupsi sistemik terjadi pada konstelasi struktural yang memungkinkan tindakan korup muncul sebagai norma dan sesuai dengan suatu sistem sosial. Misalnya mafia di Sisilia. Konstelasi semacam ini berkembang bila negara tidak berhasil menyelesaikan konflik antara sistem norma yang berpihak pada norma universalistik.
Korupsi dalam birokrasi pemerintah dan sektor swasta. Terjadi ketika norma-norma partikular dan universal berbenturan secara langsung, sehingga menjadi konflik antar hierarki nilai. Korupsi swasta sejak kekaisaran Romawi abad ke-3 dan ke-4 terjadi akibat sektor swasta dan publik tidak dipisahkan secara jelas. Akibatnya, korupsi jarang atau tidak pernah dihukum dengan tepat.
Penyebab korupsi. Korupsi muncul ketika norma partikularistik dipandang lebih valid atau secara individual lebih mengikat daripada norma universalistik. Karena itu menjadi penting menyelidiki sejauh mana norma universal menjadi bagian dari norma partikular, atau sejauh mana hukum formal memperoleh validitas menentukan sistem norma individu.
Masalahnya, dalam kondisi yang membuka peluang korupsi “paling menguntungkan” sekalipun, tidak semua orang menjadi korup. Para ahli menduga situasi ini terjadi akibat adanya perbedaan sikap individu yang mempengaruhi perbuatan korup. Para ahli menemukan bahwa ada korelasi positif antara nilai-Machiavelianisme dan tindakan pro-korupsi.
Machiavellianisme di sini adalah tindakan individu tanpa batasan ideologi, tidak peka terhadap tekanan kelompok, tidak mengambil pedoman moral, dan memakai ruang untuk keuntungan sendiri. Di masyarakat yang berwatak Machiavellianistik kekuatan pengikat sosial memudar.
Benturan kepentingan. Benturan norma universal hampir pasti mengarah ke korupsi. Ada hukum dan norma universalistik yang menyebutkan bahwa pengetahuan orang dalam tidak boleh digunakan untuk tujuan keuntungan pribadi. Untuk menghindarinya, semua pengetahuan harus bisa diakses oleh publik, tanpa mengutamakan orang atau kelompok tertentu. Pelanggarannya berupa sanksi berat karena sulit dibuktikan. Konflik kepentingan paling susah dihindari dibanding korupsi jenis lain.
Dalam konflik kepentingan, norma universalistik dan norma individu berbenturan sehingga mendorong perilaku korup. Dari pengalaman di berbagai negara, situasi seperti itu tidak bisa dihilangkan hanya dengan mengetatkan aturan melalui undang-undang karena akan menambah biaya transaksi.
Dari keempat penjelasan di atas, jelas bahwa korupsi bukan penyebab utama kelemahan suatu sistem. Sebaliknya, korupsi menjadi indikator kelemahan sebuah sistem. Kata-kata kunci dalam aturan seperti di sebut di awal artikel ini menunjukkan ada sistem yang lemah yang membuat korupsi menjadi mungkin.
Lalu bagaimana? Dari pengalaman dan sejarah, pendekatan ekonomi institusi dari buku ini rasanya lebih cocok menjadi strategi mencegah korupsi, meskipun tantangannya sangat berat. Di masyarakat, korupsi tak punya nilai positif. Sebaliknya, ia indikator sesuatu yang tak beres. Ini bisa jadi modal dan titik berangkat mencegah korupsi di masa depan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :